Bab 13

830 115 3
                                        

Mark

Dua jam sebelumnya

ARGH! AKU BENAR-BENAR KESAL!

Tanpa banyak berpikir lagi, kupukul pohon di samping dengan keras dan kuinjak ranting-ranting pohon dengan keras juga. Tapi emosiku masih belum menurun.

Sialan!

Aku belum pernah semarah ini sepanjang hidup. Terakhir kalinya aku seperti ini saat Pamela meninggal dan tak lama setelah itu, aku beserta kedua orangtuaku bertengkar habis-habisan. Saat itu, aku praktis kesal dan tidak berbicara dengan mereka berdua selama berminggu-minggu, begitu juga sebaliknya. Pada akhirnya, mereka tidak peduli lagi denganku. Begitu aku berteman dengan Neng, Tante Feli menyediakan kamar khusus untukku apabila orangtuaku sedang diluar rumah atau rumah sudah terkunci.

Yah, kalau dipikir-pikir lagi, aku memang tidak terlalu dekat dengan orang-orang. Entah itu keluarga hingga masyarakat sendiri. Hanya Neng dan Tante Feli-lah yang masih bersedia menerimaku apa adanya.

Tapi sekarang... Entahlah. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Apalagi aku baru saja menampar Neng.

My God. Aku menampar Neng! Betapa keterlaluannya aku ini. Cowok menampar cewek? Enggak gentleman banget! Gawat, bisa-bisa reputasiku yang dikenal sebagai bad boy akan berubah sebagai bad boy who like hurting girls!

Meminta maaf? Bisa saja sih. Tapi bagaimana caranya? Meminta maaf secara formal bukanlah hal yang sering kulakukan. Apalagi dengan Neng yang sudah mengenalku selama bertahun-tahun. Rasanya betul-betul akward. Tapi kalau aku diam saja, maka hubunganku dengan Neng akan rusak.

Meminta maaf... tidak meminta maaf... meminta maaf... tidak meminta maaf... meminta maaf... tidak meminta maaf... meminta maaf... tidak meminta maaf... meminta maaf... tidak meminta maaf... meminta ma--

Duk!

Eh?

Suara apa itu?

Kupertajam pendengaran suaraku. Asalnya tidak jauh dari sini.

Dengan langkah pelan, aku pergi ke asal tempat itu. Rasanya susah sekali untuk tidak menimbulkan suara apa-apa di tempat yang penuh dengan ranting pohon atau dedaunan gugur yang mudah menimbulkan suara. Aku penasaran bagaimana para agen rahasia di film-film spionese itu mampu melakukan hal seperti ini saat latihan.

Ah, apa yang barusan kukatakan? Aku mulai ngawur lagi. As always.

Semakin aku mendekati tujuan, sayup-sayup kudengar suara yang awalnya pelan menjadi jelas.

Suara pertama berkata, "Coba angkat dia keatas. Lalu gantungkan dia agar tidak mencurigakan."

"Aku tahu itu! Memangnya apa yang sedang kulakukan sekarang?!" desis suara kedua.

"Kamu lupa? Akulah yang membuat rencanamu berjalan baik. Jangan lupakan itu."

"Tanpa perlu kuberitahu, aku masih mengingatnya."

Kenapa kedua suara itu terdengar sangat tak asing?

Begitu aku tiba, aku paham betul kenapa. Butuh beberapa menit untukku agar bisa memproses pemandangan yang sedang kusaksikan ini.

Aku melihat seorang pria yang tak sadarkan diri, tengah digantungkan dengan tali laso di salah satu ranting pohon, seakan-akan ia bunuh diri. Sepertinya pria itu bukan hanya tak sadarkan diri tetapi juga sudah mati. Dari posisiku sekarang ini, susah untuk mengidentifikasi penyebab kematiannya. Namun aku yakin ia pasti dicekik hingga tak bernapas agar saat diotopsi pihak forensik takkan mencurigai apa-apa. Cara yang licik untuk menyamarkan kematian yang sebenarnya.

Jejak Keheningan [3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang