Sama seperti manusia yang selalu berasumsi tentang indahnya malam tanpa tau gelapnya
Mereka mendeskripsikan terangnya pagi tanpa tau celahnya
Segalanya punya makna
Karena segalanya aku kadang bukan segalanya kamu
Namun jikalau segalanya kamu kebetulan segalanya aku,
Semoga kelak indahnya malam bukan lagi asumsi.
Semoga kelak terangnya pagi bukan hanya sebuah deskripsi.
**
Zacchio.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dulu gue selalu punya cita-cita untuk jadi pelukis jalanan. Tangan gue selalu gatel setiap liat tembok jalanan yang udah usang dan gak terawat dilewatin begitu aja sama semua orang. Setiap ngeliat Papa ngelukis dengan sebegitu indahnya di kanvas waktu gue kecil, gue selalu membayangkan kalau kelak gue juga harus bisa melukis seperti itu. Tapi ternyata identitas lukis gue dan Papa jauh banget.
Semua seniman atau penikmat seni pasti kenal siapa Papa.
Bhimafardan Nota, promotor nomor satu semua acara eksebisi seni di Indonesia. Bukan hanya sebagai promotor, Papa juga ikut mendanai seniman-seniman yang gak punya dana untuk mempertunjukan karya seni mereka ke publik. Pahlawan seni, begitu sih kebanyakan orang mengenal Papa dan itu membuat gue bangga.
Dibanding keluarganya yang lain, Papa termasuk kategori yang paling berbeda. Disaat kakak dan adiknya hanya punya otak bisnis yang cuma mikirin besarnya profit dan omset supaya perusahaan keluarga jadi semakin sukses, yang Papa pikirin hanya kita -Mama, gue, dan Divas.
Sejak gue kecil, Papa gak pernah lembur. Dia selalu pergi ke kantor jam 10 pagi dan pulang kantor tepat waktu.
Dan Papa... Dia gak pernah melewatkan sarapan pagi atau makan malam sama kita.
Sebelum gue tau dan paham betul sesedikit apa kesempatan gue untuk bermimpi, gue selalu berandai-andai kalau kelak gue ingin jadi seorang ayah seperti Papa. Seorang ayah yang gak hanya peduli sama istri dan anak-anaknya, tapi juga sangat menghargai mereka.
Bagi Papa... Mama, gue, dan Divas punya harga yang lebih dari dirinya sendiri. Dan itu yang membuat Papa memberikan sebelah ginjalnya untuk gue ketika tumor itu mulai menjalar ke sistem eksresi.
Bahkan gue belum sempat memberi kata penolakan karena yang gue tau, malam itu gue dibawa ke rumah sakit tanpa ada satupun tanda bahwa seorang Bhimafardan Nota saat itu akan kehilangan satu ginjalnya hanya untuk membuat gue, anaknya, bertahan lebih lama dari yang seharusnya.