Untuk Jadi Miliknya

46.7K 4.6K 3K
                                        

#Playlist 19

Fiersa Besari - Hingga Napas Ini Habis

Kau bilang perbedaan ini
Bagaikan jurang pemisah
Maka biarkan aku
menyeberang dan coba berjuang

Tetaplah disini, jangan pernah pergi
Meski hidup berat, kau memilikiku
Ketika kau sakit, ketika hatimu terluka
Ku kan menjagamu hingga napas ini habis

Rebahkan saja lelahmu dan duduklah disampingku
Berhenti melawan kata hati yang tak pernah salah

**

Divas

Pernah ada teori psikologis tentang perbedaan emosi laki-laki dan perempuan yang pernah gue baca ketika gue masih kuliah dulu. Meskipun dari dulu gue gak pernah suka baca buku, ada satu temen sekolah gue yang pernah membacakannya untuk gue.

"Sebagai individu yang tercipta lebih kuat dari perempuan, laki-laki cenderung punya tingkat emosionalitas yang tinggi. Sebagian besar laki-laki bisa menjadi 70% lebih posesif terhadap apa yang dimilikinya. Bahkan ada sebagian kecil juga yang posesif terhadap apa yang bukan miliknya. Hal itu dilakukan hanya semata-mata supaya mereka bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan dan butuhkan."

Pada intinya, perempuan lebih mudah merelakan. Laki-laki gak semudah itu membiarkan apa yang seharusnya menjadi miliknya pergi.

Seenggaknya gue berpikir demikian sampai akhirnya ada sesosok laki-laki yang datang ke hidup gue dengan persona sebaliknya.

Saat gue tau Kai Deverra merelakan cewek yang udah dia jaga 4 tahun untuk menikah dengan orang lain hanya karena, "Dia lebih bisa bahagiain Claire dari gue," gue sadar kalau gue menemukan sebagian kecil dari kategori laki-laki yang bisa dikatakan istimewa.

Bahkan ada satu titik dimana gue merasa jauh lebih egois dari dia -dia gak pernah memaksakan sesuatu dan lebih memilih untuk menunggu, dia gak pernah marah meskipun dia selalu jadi satu-satunya orang yang tepat waktu ketika punya janji, ketika ada sesuatu yang dia butuhkan dan dia gak bisa dapetin itu sekarang, dia akan memilih bersabar tanpa harus marah pada sekitar.

Melihat Divi seperti melihat ayah gue sendiri. Sama ketika gue bertanya ke Papa, "Papa sedih gak Kak Kio pergi?", dan jawabannya hanya,

"Sedih. Tapi Papa tau Tuhan lebih butuh Kio, jadi Papa rela."

Iya, Divi sama persis seperti Papa -Papa yang gak pernah merasa cukup baik disaat dia selalh kasih segalanya untuk keluarga, Papa yang selalu merasa kurang, Papa yang bahagia hanya karena hal-hal sederhana, Papa yang gak pernah bisa menunjukkan perasaannya yang sebenarnya.

Berbeda jauh dengan gue yang cenderung egois. Gue memilih untuk gak terlalu memikirkan perasaan orang lain asal gue bisa bahagia dan nikmatin hidup gue. Ketika gue ingin sesuatu, gue akan menunjukkannya, ketika gue butuh sesuatu gue juga akan mengatakannya.

Mungkin itu yang membuat gue pernah berpikir, kalau sebetulnya Kai Deverra gak menginginkan gue sama seperti gue menginginkan dia.

Posisi gue untuknya gak sepenting posisi dia di hidup gue. Namun ada beberapa momen dimana gue selalu mengingatkan diri gue kalau dia adalah Divi, dengan segala diamnya, dengan segala kesederhanaannya, dengan segala kekakuan dan kepanikannya yang gak tau bagaimana melakukan sesuatu yang benar.

Tapi saat malam itu datang, dia bukan Divi yang itu. Dia bukan Divi yang membuat gue mempertanyakan seberapa pentingnya posisi gue di hidup dia.

Because by the way he treated me, I know that his words mean nothing. His acts explain more.

SerangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang