Menghitung hari detik demi detik Menunggu itu kan menjemukan Tapi ku sabar menanti jawabmu Jawab cintamu
Jangan kau beri harapan padaku Seperti ingin tapi tak ingin Yang aku minta tulus hatimu Bukan pura-pura
Jangan pergi dari cintaku Biar saja tetap denganku Biar semua tau adanya dirimu memang punyaku
**
Divas
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
05.45 sore.
Semenjak Zacchio Ivander Nota menunjukkan lukisan terakhirnya ke gue di tempat ini, gue gak pernah datang kesini lagi seorang diri.
Mas Dhika berulang kali mengajak gue kesini sepulangnya kita dari Adelaide, namun gue terus menolaknya dengan alasan kalaugue hanya gak ingin membuat ingatan gue kembali pada orang yang sama terus menerus.
Tepat satu minggu setelah hari meninggal Kak Kio, gue maju ke atas panggung dengan ratusan pasang mata yang menunggu gue untuk mengucapkan pidato terima kasih pada sekolah yang sudah kurang lebih dua tahun membimbing gue di bangku SMA.
Gue mengenakan sebuah kostum toga sebagai peringatan kelulusan kelas 12 SMA Harapan Internasional dengan ekspresi datar di wajah gue ketika gue memegang sebuah piala bertuliskan Lulusan Terbaik 5 Periode.
Gak ada senyum bangga sama sekali.
Gak ada keinginandi hati gue untuk berbicara panjang lebar di atas sana.
Gue melemparkan pandangan gue ke arah bangku penonton, melihat bagaimana setiap bangku terisi tanpa ada satupun yang kosong sama sekali. Sampai pada akhirnya mata gue menangkap sebuah bangku kosong yang terletak di antara bangku Mama dan Papa.
Semua orang menunggu Karina Maladivas Nota berbicara.
Semua orang menunggu apa yang akan gue katakan saat itu itu.
Dan ketika kaki gue berjalan ragu untuk mendekatkan mulut pada mikrofon, suara gue seketika hilang. Hanya terdengar sedikit.
"S-saya..."
Gue melihat dengan jelas bagaimana sekeliling menatap gue dengan penuh iba.
Karena mereka tau bagaimana kehilangannya gue saat itu dan mereka menanti apa yang akan gue katakan di pidato terakhir gue sebagai murid SMA dari depan sini.
"Saya... Hmm..," genggaman gue pada piala itu semakin erat dan bibir gue bergetar hebat.
Rasanya gue sulit bernapas dan gue berakhir mendapati pandangan gue buram.