Bab 4

890 134 4
                                    

Negeri Sisi Buruk tenung dalam keabadian malam, dan warganya sudah terbiasa hidup tanpa menghitung waktu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Negeri Sisi Buruk tenung dalam keabadian malam, dan warganya sudah terbiasa hidup tanpa menghitung waktu.

Penanda waktu adalah arloji yang tidak boleh rusak. Mali adalah salah seorang yang tertib urusan waktu. Dia senang menyimpan arloji di sakunya dan rutin mengeceknya di waktu tertentu. Mali juga mengaku sanggup menghitung detik, menit, jam tanpa melirik arloji. Kemampuan mengukur waktu tersebut selalu dimanfaatkan saat mereka bepergian.

Sementara Liveo punya caranya sendiri dalam menghitung waktu. Ia membagi tiga periode dalam satu hari. Jam setelah bangun tidur sudah dipastikan adalah pagi hari. Saat perutnya keroncongan berarti waktu tengah hari. Saat pelupuk matanya berat, berarti waktu tidur. Selama berburu, ia punya Mali sebagai pengingat waktu. Bila berburu sendirian, Liveo berpatokan pada gejolak tubuhnya. jika degup jantungnya telah normal dan staminanya menanjak kembali setelah menaklukkan monster, berarti sudah lewat tiga puluh menit. Instingnya lebih mutlak ketimbang arloji Mali.

Maka menurut perkiraan Liveo, ia telah menghabiskan waktu kurang lebih dua jam menuju gua Lamia, lima jam mengeksplor gua Lamia, dan satu jam setengah untuk kembali ke dusun. Sembilan jam. Rekor waktu yang bukan membanggakan. Dia melangkah cepat ke gerbang dusun sambil menenteng kepala.

Kepala itu terjatuh di depan rumah pemburu.

Rumah si pemburu rubuh berantakan.

Pondasi kayunya terpatah-patah. Atapnya yang kukuh (dan sebelumnya gemas ingin Liveo hajar) seluruhnya rata dengan bumi. Sebelumnya rumah itu berbentuk gubuk kecil dengan sebuah sekat yang memisahkan ruang tidur dan makan. Kini segalanya terbenam di antara puing kayu dan gumpalan tanah.

Bahkan pagarnya pun roboh. Yang masih berdiri hanya pajangan jasad Leipreachán di depan rumah, dengan jambul lemahnya yang agak miring ke kiri.

Liveo menendangi puing, mengintip ke baliknya, mendengarkan suara bergeretak dan berusaha mencium wangi darah. Dia melihat potongan tangan. Tangan yang ia ketahui milik si pemburu dari sayatan bekas luka di kulit itu. Pemilik tangannya tergeletak tak jauh dari kaki tempat tidurnya yang sudah remuk. Mati. Sesuatu terjadi, dan apa pun itu, bukan hal baik.

Beberapa jarak ke halaman berumput, tampak darah menjejak tanah. Darah segar, berbentuk genangan yang cukup lebar. Apa pun yang menyebabkan darah itu menggenang di sana, pastilah pemiliknya terluka cukup parah. Tak mungkin darah si pemburu di dalam rumah terlontar sejauh itu. Sudah pasti darah orang lain.

Liveo berlutut, mencolek tetesan darah itu dengan ujung jari, merasai.

Pembuluh Liveo berdesir.

Kepala berputar ke sekeliling, mencari.

Mali?!

Dia ingin meneriakkan nama kakaknya, menahan diri. Jalannya cepat, ia melongok ke segala arah mencari bunyi, penampakan apa pun.

Dilanda panik, Liveo melewati salah satu rumah yang pintunya menjeblak dengan kasar.

Si penyihir perempuan tua menggeser tubuhnya keluar rumah. Dia mendelik kepada Liveo. "Mana tabibnya?!"

AMALGAMATE (Mali & Liveo Story) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang