Lahir dari rahim ibunda ratu yang sama, namun bertolak belakang.
Pangeran Mali dan Pangeran Liveo. Kakak dan adik. Terang dan gelap. Baik yang kelabu, dan kelabu yang baik—Tidak.
Sungguh. Liveo bosan mendengar kata-kata "Baik" keluar dari bibir tipis pangeran. "Kawan baik-ku", "Penyihir baik", "Perempuan baik-baik". Tolol sekali mendengar seorang pangeran kegelapan menyebut kata 'baik' di negerinya yang kontra baik. Belakangan Liveo tahu sang kakak terobsesi mengamalgamasi Sisi Baik dan Sisi Buruk, tanpa sadar tak ada secuil kebaikan yang sungguh-sungguh nyata dalam impian tersebut. Segala yang dilakukan Mali hanya demi mengasupi sisi tergelapnya sendiri—nafsu untuk dilihat, dikenang, ditinggikan popularitasnya. Liveo tak bisa membuat kakaknya melek dengan bentakan, benturan fisik, atau menancapkan bilah untuk menyayat kulit Mali. Didera pedih mental dan fisik pun, sampai akhir Mali tetap kukuh dengan pelbagai konsep terutama yang terbit dari bunga tidur, mimpi-mimpi aneh.
Satu hal tentang Mali; apa pun yang terucap dari bibirnya adalah sesuatu yang sulit disangkal. Tak ada yang bisa memprotes logikanya yang terdengar semrawut tapi (sialnya!) selalu benar. Liveo ingin meretakkan bumi setiap kali kalah berdebat dengan lelaki itu.
Mereka berkelana di luar zona aman. Di luar kastel. Pada area lembah cadas yang bebatunya mengilat keunguan hitam, yang pada lembahnya berkilauan serat-serat dan batuan permata garnet ungu. Di tengah dusun penjahat-penjahat teri. Liveo tahu Mali belum pernah bertindak ceroboh atau bodoh. Dia tak mungkin menghilang begitu saja.
"Mali?" Suara Liveo mendesis. Menolak berteriak, menolak terdengar lebih panik dari apa pun.
Sambil mencengkeram badan sabit garangnya, Liveo meniti ulang setapak lebar dusun. Semak tinggi menjulang di kanan-kiri, menutupi sebagian gubuk mungil penduduk. Tak tampak tubuh yang mengendap di antaranya. Kalau Mali ingin bermain sembunyi-sembunyi sudah pasti di antara semak ini.
Perempuan tua penyihir itu! Jangan-jangan dia sudah bisa mengayun tongkat dengan jari kaki dan menyulap Mali jadi asap. Ini terlampau tolol. Mali tidak pernah lepas dari sisinya. Pernah suatu ketika Windigo—monster kanibal yang menghuni daerah hutan fikus penuh kabut di Sisi Buruk timur–membuat mereka terpencar. Namun Mali selalu muncul di sisi Liveo di saat-saat paling buruk sekalipun.
Mali pasti bercanda dan sedang menakut-nakutinya. Dia muncul sebentar lagi dengan tepukan hangat di pundak Liveo, seolah tidak terjadi apa pun. Pikiran ini menggelagakkan emosi.
"Mali, kalau kau tak keluar juga, kutinggal!" ancamnya lirih, sabit terayun tanpa aturan menebas ilalang.
Seekor kelinci keriput meloncat dari baliknya, tajam sabit Mali menebas tak sengaja. Darah kecokelatannya memercik pinggiran celana. Tubuh kelinci terpotong dua di udara. Potongan tubuh yang pertama tergeletak mencium ujung sepatu Liveo, potongan tubuh yang kedua—menghilang.
Seekor makhluk, bungkuk renta, merayap dengan kecepatan menangkap potongan tubuh itu. Dia berkulit tanpa daging. Rambut awut-awutan. Bola matanya berongga delapan. Dia gigit daging mentah kelinci di antara geligi yang kekuningan. Liveo hampir tidak bisa mendeteksi keberadaannya yang tanpa suara. Makhluk itu lari kilat. Ia Goblin yang licin dan korup, memangsa apa pun yang terpotong ke tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMALGAMATE (Mali & Liveo Story) ✔
FantasiDark fantasy. Kisah dua pangeran antagonis dari negeri bernama Sisi Buruk. Negeri tempat para penjahat dari seluruh dunia dongeng dibuang. =Cerita ini didedikasikan untuk Silan Haye (harap membaca bab Pembuka untuk penjelasan setting...