"Pril, kamu tuh udah seharusnya nikah. Kamu itu udah gedhe. Udah saatnya mama gendong cucu. Mama nggak akan kasih hak ke kamu buat butik mama. Biar aja kamu jadi gembel. Mama sama Papa udah nggak peduli. Mama akan tarik semua fasilitas kamu. Kamu itu mama sekolahin buat nerusin usaha mama. Lama-lama kamu mama jodohin tau nggak!" celoteh Ully, Mama Prilly dengan menggebu-nggebu, membuat Prilly sedikit geram. Iya, Prilly tahu usianya sudah tidak bisa dikatakan muda untuk seukuran wanita. Memang sudah saatnya Prilly menikah.
Sekelebat kejadian tadi malam terputar indah di kepala Prilly. Sekarang ini ia sedang berjalan gontai di tepi jalan.
Sudah jatuh, ketimpa tangga pula. Beberapa hari yang lalu, Prilly melihat dengan mata kepalanya sendiri pacarnya jalan sama cabe. Sekarang, orang tuanya meminta untuk segera menikah. Apa katanya tadi? Semua fasilitas akan ditarik? Dan lebih parahnya lagi, Prilly akan dijodohkan. Oh My God, saat ini Prilly mati-matian cari jodoh agar orang tuanya tak menjodohkannya. Tidak mungkin pula Prilly bercerita tentang pacar buayanya. Selama ini Prilly hanya bercerita tentang teman dekatnya yang baik dan Ully menagihnya. Padahal itu hanya akal-akalan Prilly agar tidak mengungkit tentang hal itu.
***
"Li, lo nggak kasian apa sama nyokap lo? Lo itu udah dewasa. Seenggaknya lo serius kek sama Nikita. Jangan dimainin terus." Oceh Bimo, manager Ali. Ali memang sudah menganggap Bimo seperti saudara sendiri. Ia sering menceritakan keluh kesah hidupnya.
"Ya ... gue nggak srek aja kalau ngajak nikah Niki. Lagian gue masih pengen bebas," ucap Ali pasrah. Ia menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Menatap kosong jalan yang ada di depannya. Dengan mobil yang di supir oleh Bimo. Karena supirnya Ali sedang izin sakit.
"Secara nggak langsung lo udah nyakitin hati cewek, Li. Siap-siap aja lo kena karma. Lagian apa sih kurangnya Niki? Cantik, baik, kaya, multitalent, nggak neko-neko, perhatian pula. Lama-lama gue gebet nih si Niki."
Ali berdecak kesal. Ia tak mengindahkan apa yang diucapkan Bimo. Handphone yang ia pegang bergetar, menandakan ada satu pesan masuk.
Sayang, lagi dimana?
Itu pesan dari Niki. Sekarang ia benar-benar frustasi. Setiap hari ia selalu didesak Resi; Bunda Ali untuk menikah.
"Li, kapan nikah?" Pertanyaan ini selalu terlontar dari bibir Resi setiap kali melihat Ali hendak pergi dan pulang.
Seakan-akan pertanyaan itu adalah pertanyaan terlaknat disepanjang hidupnya. Ali hanya bisa mengela napas panjang. Menenangkan dirinya sendiri.
Braaak...
Tiba-tiba saja Bimo menge-rem mobilnya mendadak. Sontak membuat Ali kaget dan langsung melihat apa yang terjadi di depannya. Dan ternyata Bimo telah menabrak seseorang gadis yang sama sekali tak ingin ia ketahui. Ia kembali menyandarkan punggungnya ketika melihat gadis itu tak apa-apa, bahkan sempat berusaha berdiri walaupun susah.
"Lo gimana sih?! Untung gue nge-rem nya tepat. Hati-hati dong kalau nyeberang!" Caci Bimo sambil membantu gadis itu berdiri. Kening Bimo mengernyit mendapati gadis itu menangis. Padahal lukanya tidak terlalu parah untuk ukuran dewasa. Untungnya jalanan sepi, jadi tidak terlalu membuat warga mengumpul.
"Ya Allah ... kenapa nasib gue sial terus sih," ucapnya memijat pergelangan kakinya yang keseleo. "Gue pusing, badan gue remuk." Gumamnya.
"Yaudah, walaupun gue nggak salah. Gue tetep tanggung jawab kok, gue nggak mau buat nama artis gue jelek." Bimo menggendong tubuh mungil gadis itu memasuki mobil. Ali hanya mengerling melihat gadis itu dimasukan ke dalam mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Marry Me!
HumorTernyata benar. HATTERS itu adalah penggemar yang tertunda. Aku membencinya, mungkin karena dia selalu wara-wiri di televisi. Sepertinya televisiku ini sudah dipenuhi oleh satu nama; Aliando Syarief. Tapi siapa sangka, setelah aku bertemu denganya...