"Papa bangun yuk," kata Prilly sambil mengguncang badan Ali. Masih tidak ada respon. Semalam Ali pulang pukul satu dini hari. Dan sekarang Prilly membangunkan suaminya itu tepat pukul enam pagi
"Katanya kamu ada shooting iklan. Bangun dong sayang, beruangnya aku." Prilly yang sedari tadi meletakkan kepalanya di dada Ali sambil mengusap-ngusapnya beralih duduk. Ia menarik lengan Ali yang menutupi setengah wajahnya.
"Ali ah. Tumben banget nggak bangun-bangun. Nanti aku marah nih... Sayang...." Prilly menepuk-nepuk pelan pipi Ali. Rasanya panas. Air muka Prilly sudah berubah panik. Lalu ia menempelkan punggung tangannya di dahi Ali. Terasa hangat.
"Kamu demam ya? Ya ampun kamu kok nggak bilang sih sayang. Bentar aku siapin kompres dulu."
Setelah beberapa menit, Prilly kembali dengan membawa baskom berisi air dingin dan handuk kecil. Ia memeras handuk yang ia celupkan tadi lalu menempelkannya di dahi Ali agar panasnya sedikit mereda.
Prilly berinisiatif menelepon Bimo untuk mengosongkan jadwalnya sampai Ali sembuh. Prilly tidak mau terjadi apa-apa pada suaminya itu. Terkadang Prilly juga kesal dengan Ali yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Hingga tidak ada waktu sama sekali untuk dirinya dan Al. Ali selalu berangkat ketika Al masih tidur dan pulang saat Al sudah tidur kembali.
"Ali buka mata kamu dong ... aku nggak mau kamu jatuh sakit kaya gini." Prilly mengusap pipi Ali dengan ibu jarinya. Tak terasa air matanya berjatuhan.
Perlahan Ali mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia merasakan dahinya dingin. Samar ia melihat Prilly yang menunduk sambil menangis. Ia meraih tangan Prilly yang berada di pipinya, lalu megecupnya. Hal itu seketika membuat Prilly mendongak.
"Selamat pagi," sapa Ali lagi sambil tersenyum menatap istrinya itu.
"Kamu sakit kenapa nggak bilang-bilang?" ucap Prilly kesal. Prilly tak memperdulikan sapaan Ali. Ia memukul pelan dada Ali.
"Emang siapa sih yang sakit? Aku baik-baik aja," ucapnya dengan tenang.
"Baik-baik aja gimana? Orang kamu badannya panas banget." Reflek. Prilly menarik tangannya dari genggaman Ali.
Ali berusaha bangun dan bersandar di kepala ranjang. "Udah ah. Aku mau kerja. Udah telat nih."
Mata Prilly melebar. "Hah? Kerja? Nggak boleh! Aku nggak ngizinin kamu kerja."
"Tapi say—,"
"Kenapa sih kerja mulu? Orang sakit juga. Nggak kangen apa sama aku sama Al? Aku juga nggak banyak ngabisin duit kamu kok. Lagian aku juga udah telpon Bimo buat ngosongin jadwal kamu selama sakit."
Terlihat Ali hendak memprotes ucapan Prilly. Namun sebelum kata-kata Ali keluar, Prilly lebih dulu menyela. "Nggak ada bantah-bantahan ya. Kamu cukup istirahat. Aku buatin bubur ayam. Setelah itu kita periksa ke dokter."
Ali menghapus air mata Prilly yang hampir mengering. Lalu tersenyum, "iya panda. Tapi biar dokternya ke sini aja. Bau rumah sakit nggak baik buat Al. Lagipula Al baru aja sembuh dari batuk sama flunya kan."
"Iya udah deh tapi kayaknya mulai sekarang aku harus ngatur jadwal kamu bareng Bimo deh. Nggak semua tawaran harus diterima. Harus dengan persetujuan aku."
"Iya. Bawel banget sih kamu." Ali terkekeh di akhir ucapannya.
"Mumpung Al belum bangun. Aku mau buatin bubur spesial buat kamu. Yang rasanya nggak hambar dan bikin ketagihan." Sebelum Prilly beranjak ia lebih dulu mengompres Ali dengan handuk kecilnya tadi.
Ali senang mendapat perhatian lebih dari Prilly.***
"Mama ... mama ...." Al memanggil-manggil Prilly seusai bangun tidur. Selalu seperti itu. Sedangkan Prilly yang menyuapi Ali mendadak berhenti dan meletakkan mangkuk berisi bubur itu di atas nakas. Kemudian, menghampiri Al yang berada di ranjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Marry Me!
HumorTernyata benar. HATTERS itu adalah penggemar yang tertunda. Aku membencinya, mungkin karena dia selalu wara-wiri di televisi. Sepertinya televisiku ini sudah dipenuhi oleh satu nama; Aliando Syarief. Tapi siapa sangka, setelah aku bertemu denganya...