sebelum baca, vote dulu yuk! :')
***
"Li, gue udah ada di depan rumahnya Dika. Gue harus ngapain nih sekarang?"
"Tungguin gue, Bim. Gue bakal kesana."
Ali memutus sambungan teleponnya. Tadi, setelah semua yang Prilly tutupin terungkap, ia mencari tahu semuanya tentang Dika. Lalu, ia menyuruh Bimo untuk datang ke sana selagi Ali masih menjaga Prilly di sini.
Ali tidak tinggal diam. Ali tidak terima Prilly diperlakukan seperti itu. Ali bisa saja melaporkan kasus ini ke pihak berwajib, tetapi ia masih menjaga nama baik Dika, dirinya, dan terutama Prilly.
Ali tidak mau masalah ini menjadi konsumsi masyarakat. Lebih baik diselesaikan dengan kepala dingin, karena Ali bukan tipe-tipe orang yang suka cari sensasi. Biarlah itu hanya menjadi asumsi masyarakat. Di sini, Ali hanya bekerja secara profesional, Ali akan membuktikan kepada semua orang bahwa dirinya bukan artis modal tampang. Ia punya segudang bakat yang belum diketahui publik.
"Sayang, kamu baik-baik di sini ya? Aku pergi dulu. Sebentar kok." Ali mengusap puncak kepala Prilly dan mencium keningnya. Ali menyibak selimut yang menutupi tubuhnya hingga leher pelan-pelan. Ia tidak mau mengganggu tidur siang istrinya. Ali menyukai wajah Prilly saat tidur. Menurutnya, aura kecantikan dan energi positif Prilly lebih terpacar ketika sedang tidur.
Ali segera beranjak dan menuju lantai bawah. Ia menyalakan mesin mobilnya terburu. Wajah bersihnya tampak merah padam. Benar. Ali masih sangat marah. Dengan kecepatan di atas rata-rata ia menuju ke rumah Dika. Tiba-tiba saja iPhone Ali berdering, ternyata Bimo yang telah meneleponya.
"Buruan ke sini. Dika udah mau keluar, Li. Gue lagi mau nahan dia."
"Oke-oke. Gue segera."
Tak lama, berkat penambahan kecepatan inilah Ali sampai lebih cepat dari perkiraannya. Untungnya jalan masih lenggang, jadi Ali bisa lebih leluasa menguasai jalan.
Ali melihat ada dua orang yang sedang berbicara di depan teras. Yang satu, berpakaian rapi dengan dasi yang melingkar indah di lehernya. Yang kedua, berpenampilan lebih casual dan tidak terlihat resmi. Ia tak tahu kedua orang tersebut membicarakan hal apa, yang jelas dialah orang yang telah sangat berani menyentuh istrinya.
Ali menghampiri mereka berdua. Kilatan tajam muncul begitu saja dari matanya saat menatap Dika. Sebelumnya ia pikir Dika adalah laki baik-baik tapi ternyata dia lebih busuk dari bangkai hewan.
"Ali?" Dika memastikan. "Tumben-tumbenan lo ke sini?" tanyanya basi basi. Jujur, Ali sangat ingin melayangkan satu pukulan keras di wajah Dika hingga tulang hidungnya patah. Tapi tidak, Ali bukan laki-laki busuk seperti orang yang ada di depannya.
"Gue boleh masuk?" Ali mengepalkan tangannya berusaha untuk tidak memukul Dika dan berusaha tersenyum ramah.
"Oh iya. Silakan."
Ali masuk dan duduk di sofa tamu. Sedangkan Bimo, dia menunggu di teras barangkali ada paparazzi yang mengikuti bos-nya.
"Lo apain Prilly saat itu?"
"Itu? Itu apaan?"
"Lo bodoh atau udah kelanjut oon sih?"
"Oke. Gue ngerti sekarang. Sumpah saat itu, gue cuma patah hati karena Prilly nggak mau nikah sama gue dan lebih memilih lo. Gue nggak nidurin dia, gue cuma ingin ngasih pelajaran ke Prilly kal--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Marry Me!
HumorTernyata benar. HATTERS itu adalah penggemar yang tertunda. Aku membencinya, mungkin karena dia selalu wara-wiri di televisi. Sepertinya televisiku ini sudah dipenuhi oleh satu nama; Aliando Syarief. Tapi siapa sangka, setelah aku bertemu denganya...