Hari ini mereka akan terbang ke Santorini. Santorini adalah pulau impian mereka berdua. Awalnya Prilly enggan berangkat ke sana, karena ia takut semakin mengecewekan Ali. Andai saja Prilly dapat kembali ke masa lalunya, ia akan berkata yang sebenar-benarnya walaupun Ali nanti tidak mau menerimanya lagi. Hah, hanya andai.
Ali dan Prilly berjalan beriringan menuju mobil. Sedangkan koper dan perlengkapan lainnya sudah Ali letakkan di bagasi. Saat Ali akan membuka pintu mobil, tiba-tiba Prilly memeluknya dari belakang. Sangat erat sekali, seperti tidak mau berpisah.
"Apa sayang? Peluknya nanti aja waktu di hotel. Nanti kita ketinggalan pesawat loh." Ali berbalik dan membalas pelukan Prilly sambil sesekali mengecup puncak kepala Prilly.
"Aku takut kamu ninggalin aku." Air mata Prilly sudah keluar begitu saja dari pelupuknya.
"Sampai kapan pun dan selamanya aku akan tetap di sini. Kamu ingat janji suci aku?"
Prilly mengangguk.
"Aku mau jujur sama kamu. Aku udah persiapin diri aku dari semalaman. Aku tahu, omongan kamu barusan hanya berlaku beberapa menit saja setelah kamu tahu satu fakta yang menyakitkan."
Ali semakin bingung dengan apa yang diucapkan Prilly. Sebenarnya istrinya ini sedang sakit atau apa?
"Aku nggak ngerti apa yang kamu omongin sayang," elak Ali.
Prilly melepaskan pelukannya. "Aku udah nggak suci lagi." Perkataan itu lolos begitu saja dari mulut Prilly. Sungguh, butuh beberapa hari untuk Prilly mengucapkan hal sebodoh itu.
Ali tertawa.
Seakan-akan ia tidak percaya dan menganggap Prilly hanya becanda. Sorot mata Prilly yang tadinya terluka menjadi penuh tanda tanya. Ali tertawa? Tertawa diatas penderitaan istrinya-oh, tunggu. Mungkin sebutan itu tak berapa lama akan berakhir.
Prilly merasa dirinya terhina di hadapan Ali. Prilly mengusap kasar air matanya dan berjalan menuju bagasi untuk mengambil kopernya.
Melihat pergerakan Prilly yang seakan-akan marah, Ali menyudahi tawanya dan berdehem. Kali ini Ali serius. Ia menghampiri Prilly yang menatapnya sedikit sinis.
"Kamu becandanya lucu banget sih yang. Sampek perut aku sakit gini."
"Aku serius, Ali. Aku bakal pergi. Maaf kalau aku udah ninggalin sebercak kotoran dihidup kamu. Kamu nggak perlu ngusir aku, aku bisa pergi sendiri."
"Sayang, jangan becanda lagi ah. Buruan masuk."
"Apa mata aku ini menunjukkan kalau aku lagi becanda? Ali... maafin aku kalau aku nggak bisa ngejaga tubuh aku dari orang lain."
"Maksud kamu apa sih hah? Aku bener-bener nggak ngerti."
"Oh, jadi kamu ingin aku ngucapin secara gamblang kalau aku ini udah nggak perawan! Iya gitu?"
"Hei, emang iya kan? Kalau waktu itu kita udah melakukan hal yang sewajarnya?"
"Aku nggak tahu ini pasti atau enggak. Aku hanya takut, kalau yang pertama ngelakuin itu bukan kamu Ali... mengertilah." Air mata Prilly mulai berjatuhan kembali.
Ali mendekati Prilly dan menangkup kedua pipi Prilly untuk diarahkan ke wajahnya. Ali ingin Prilly tahu bahwa pada saat itu Prilly masih gadis.
"Tatap mata aku, Prilly," ucap Ali saat sorot mata Prilly tak mau menatapnya. "Aku mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku mencintaimu, dan akan selamanya seperti itu."
"Tapi aku takut kamu ninggalin aku disaat hatiku udah sepenuhnya milik kamu, Ali."
"Tidak akan!" ucap Ali tegas. "Aku yakin kamu masih gadis pada saat itu. Aku yakin. Siapa yang udah berani ngelakuin hal seburuk itu pada istriku yang cantik ini?"
Prilly bergeming.
"Jujurlah. Aku tidak akan marah kalau kamu jujur sama aku. Justru aku akan marah saat aku tahu dari mulut orang lain."
"Benar? Kamu janji kalau aku jujur, kamu nggak akan marah? Kamu akan tetap di sisi aku seperti ini kan?"
Ali memiringkan wajahnya untuk mencium bibir mungil Prilly. Setelah itu ia mengangguk.
Prilly tersenyum. Beruntung sekali ia mendapatkan lelaki baik seperti Ali. Sebenarnya Prilly sudah tidak ingin mengingat kejadian pada waktu itu. Namun, demi kebaikan hubungannya, Ali wajib tahu.
Kejadian saat itu kembali terputar indah diingatan Prilly. Wajah Ali sudah sangat merah padam bercampur sedih mendengar kejadian yang dialami istrinya. Ali marah. Tapi pada siapa? Ali sangat tidak berhak memarahi Prilly karena ini bukan salahnya.
Ali malah menyalahkan dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga Prilly dengan baik. Ingin rasanya Ali menghancurkan barang-barang yang ada disekitarnya. Tapi itu tidak mungkin, di depannya, ada wanita yang berkali lipat lebih terluka dan sakit hati dibandung dirinya. Hanya sebuah pelukan hangat dari Alilah yang mampu membuat hati Prilly lega. Prilly terus menggumam maaf untuk Ali. Tapi bukan Ali namanya, jika tidak bisa membuat Prilly tenang seperti sebelumnya. Ali terus memberinya pengertian. Ia membiarkan kemejanya basah oleh air mata Prilly.
"Aku yakin seyakin yakinnya sayang, kalau dia nggak mungkin ngelakuin hal itu. Percaya sama aku. Ya?"
"Pril, pukul aku! Pukul dan lampiasin kekesalan kamu sama dia ke aku. Aku nggak apa-apa kamu pukul-pukul sampai kekesalan kamu hilang. Itu semua udah takdir sayang... kita juga udah nggak bisa merubah masa lalu. Lebih baik kita fokus sama hubungan kita dan jangan pikirin hal yang enggak-enggak lagi. Aku janji, aku tidak akan mengampuni Dika! Aku janji sayang."
Prilly semakin menangis histeris mendengar ucapan Ali tadi. Ia merasa hina dan tidak pantas bila disandingkan dengan Ali.
"Aku nggak mungkin mukul orang yang bener-bener aku sayangi, aku nggak mau kamu sakit, Ali. Aku terima kasih sama kamu karena udah mau nerima aku apa adanya. Kamu benar, ini mungkin sudah takdir aku di pertemukan sama orang yang bener-bener bisa ngemong aku. Aku mencintaimu."
"Aku mencintaimu juga."
Ali melepas pelukannya dan menghapus air mata Prilly. Sungguh, Ali sangat menahan mati-matian agar air matanya tidak jatuh. "Kalau kamu sayang sama aku, senyum dong. Jangan sedih-sedih lagi. Kalau gitu kita delay aja ya sayang. Aku mau masalah ini selesai dulu, aku mau pikiran kamu tenang, kamu istrirahat aja dulu. Biar ini semua aku yang ngeberesin."
"Kamu apa sih Ali. Enggak ah, ini udah tugas aku sebagai istri buat beresin ini semua. Aku nggak mau ya jadi istri durhaka. Siniin kopernya." Prilly mengambil alih kedua koper yang ada ditangan Ali.
"Jangan ah, ini berat. Nanti kamu sakit."
"Aku nggak penyakitan Ali. Sini."
"Oke, lebih baik, kamu bawa koper aku, sedangkan aku bawa koper kamu."
Prilly menghela napas, "baiklah."
"Tapi enggak ah. Lebih baik aku bawa yang punya koper aja." Tiba-tiba Prilly memekik tertahan karena gendongan dari Ali yang tiba-tiba juga.
"Ali mah, bikin aku kaget aja." Prilly mencubit perut Ali gemas.
Pandangan mata Ali tak lepas dari mata dan bibir Prilly. Ali mulai menaiki tangga menuju kamar atas sambil mengecupi bagian wajah Prilly. Tepat sampai di pintu kamar, Ali menyeringai, "bersiap-siaplah membuat Ali junior's sayang!" dan kalimat itu sukses membuat kedua pipi Prilly bersemu merah saking malunya.
Tbc!
Makasih yang udah masukin cerita ini ke RL dan Library kalian. Jangan bosan-bosan umtuk nungguin kelanjutan cerita ini ya. Secepatnya bakal di up lagi kok :')
KAMU SEDANG MEMBACA
Please, Marry Me!
HumorTernyata benar. HATTERS itu adalah penggemar yang tertunda. Aku membencinya, mungkin karena dia selalu wara-wiri di televisi. Sepertinya televisiku ini sudah dipenuhi oleh satu nama; Aliando Syarief. Tapi siapa sangka, setelah aku bertemu denganya...