Di trotoar tepi jalan yang nampaknya tidak akan dilewati kendaraan dalam waktu dekat, berdiri tiga insan manusia. Salah seorangnya adalah anak laki-laki berusia sekitar lima tahun sedang memeluk kaki seorang wanita. Wajahnya yang bulat dihiasi pipi gembul yang memerah akibat cuaca dingin, menengadah menatap polos wanita tersebut dengan mata hitam bulatnya.
Sesekali ia alihkan pandangannya ke arah satu lagi sosok manusia yang berdiri tak jauh darinya. Seorang pria berambut zaitun dengan warna mata senada tengah beradu pandang dengan wanita yang kakinya tengah dipeluknya.
"Nee-chan?", tanya anak itu memecah pandangan si wanita.
"Ya, ada apa Toshio?", jawabnya seraya menundukkan kepala untuk menatap anak yang dipanggil Toshio tadi.
"Apa nee-chan tidak apa-apa? Dari tadi nee-chan terus bertatap dengan orang itu." Melepas pelukannya, Toshio bertanya polos seraya menunjuk pria tadi dengan telunjuk mungilnya.
Sambil tersenyum, wanita itu jongkok merendahkan badannya untuk menyamakan tinggi dengan Toshio. Satu tangannya menggenggam tangan Toshio yang ia gunakan untuk menunjuk pria tersebut. Diturunkan tangan kecil Toshio ke samping badannya.
"Gak sopan nunjuk orang seperti itu, Toshio." Kedua tangan wanita itu meremas gemas kedua pipi gembul Toshio sebelum beralih ke kedua bahu Toshio.
"Nee-chan tidak apa-apa kok." Kata wanita itu lalu melirik sekilas pria yang berdiri beberapa meter di depan mereka.
"Nee-chan ada urusan dengan nii-san ini, Toshio pulang duluan tidak apa-apa kan?" Tanya wanita itu dengan lembut. Toshio mengangguk pelan.
"Tidak kok, lagian kan rumah nenek sudah dekat. Sini, biar Toshio yang bawa belanjaan nee-chan", ucap Toshio penuh pengertian.
Hampir saja wanita itu lupa kalau sejak awal dia membawa satu kantung plastik berisi bahan makanan. Mungkin secara tidak sadar ia menjatuhkan plastik itu ketika melihat pria didepannya kini. Untung saja ia tidak membeli telur. Kalau sampai ada telurnya, bisa kacau belanjaannya.
"Terima kasih, Toshio sayang. Bilang ke nenek kalau nee-chan datang agak sore." Balas wanita itu tersenyum sambil mengacak pelan puncak kepala Toshio. Tak lupa ia serahkan plastik tadi ke Toshio.
"Oke! Dah nee-chan", pamitnya sambil mengacungkan jempol kecilnya. Ketika berpapasan dengan pria tadi, Toshio berhenti sejenak lalu membungkuk.
"Maaf tadi aku menabrakmu nii-san. Sampai jumpa."
Tanpa menunggu balasan, Toshio langsung berjalan cepat dengan langkah kecilnya menuju rumah neneknya. Memang benar kata wanita itu, rumah nenek Toshio hanya berjarak dua rumah dari posisi pria itu berdiri.
Setelah Toshio menghilang di balik pintu, keheningan mulai menyelimuti kedua manusia berbeda jenis tersebut. Keduanya saling berpandangan, namun hilang dalam angan masing-masing.
Si pria memiliki banyak pertanyaan untuk si wanita. Pun begitu sebaliknya. Tetapi ia memilih untuk menghiraukannya dan berjalan mendekati si wanita. Si wanita, yang merasa si pria mendekat, berdiri dari posisi jongkoknya dengan kepala tertunduk.
Jarak mereka kini sudah sangat dekat. Mereka bisa saling merasakan kehangatan tubuh yang dipancarkan masing-masing. Tangan wanita itu terangkat dan mengepal lemah. Dipukulkan pelan kepalan tangannya ke dada bidang pria tersebut.
Seluruh tubuh wanita itu bergetar. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya tumpah. Masih memukul-mukul dada pria tersebut, wanita itu berucap lirih, "...jahat....jahat."
Diulang kata itu sampai tangannya digenggam dan tubuhnya dibawa dalam sebuah dekapan hangat nan protektif. Dipeluknya erat seolah wanita itu bisa menghilang kapan saja. Ia tidak keberatan bajunya basah karena air mata atau bahkan karena ingus. Asalkan ia bisa mendekap wanita tersebut dipelukannya, menyanyanginya, melindunginya, dan membuatnya selalu ada dalam jangkauannya.
"Maaf."
Hanya satu kata yang terucap dari bibir si pria. Namun mampu membuat wanita itu makin menangis. Mereka tetap berada di posisi itu selama beberapa menit. Setelah agak baikan, wanita itu menjauhkan sedikit tubuh mereka.
"Berhentilah memainkan perasaanku. Di saat aku mulai melepasmu, kau malah muncul dihadapanku. Di saat aku ingin serius, ada aja halangannya. Apa enam tahun tidak cukup untukmu, Wakatoshi?" Tanya wanita itu sambil sesekali sesenggukan. Diusapnya sisa air mata sambil menunggu jawaban dari pria tersebut.
"Maaf", ucap pria itu lagi.
Kedua tangan Ushijima masih melingkar di tubuh wanita itu. Walaupun ada jarak sedikit, ia tidak akan membiarkan wanita tersebut lepas darinya.
"Aku yakin baik dari dirimu maupun diriku mempunyai banyak hal yang ingin disampaikan", ucap Ushijima dengan suara baritonnya.
"Aku melihat sebuah kedai susu di dekat perempatan. Apa kau mau ke sana?", tanya Ushijima.
Wanita yang masih tertunduk itu hanya menganggukkan kepalanya tanpa berucap apapun. Ushijima berpindah posisi lalu merangkul erat wanita itu dari samping.
Beberapa langkah awal, wanita itu masih menunduk. Bahkan membuat langkah mereka terkadang tidak sinkron. Sampai akhirnya Ushijima berhenti dan meletakkan ibu jari dan jari telunjuk dari tangannya yang bebas ke dagu wanita itu.
Diangkatnya wajah wanita itu dan diarahkan kearahnya. Sontak, wajah wanita itu memerah karena jarak wajahnya dengan wajah Ushijima sudah begitu dekat.
"(Y/n), aku kan sudah minta maaf. Kalau masih mau marah, nanti. Kita lagi di jalan."
(Y/n) bisa merasakan hembusan nafas Ushijima diwajahnya. Aroma mint obat pencuci mulut merasuk ke indra penciumannya. Sambil mengangguk kaku (Y/n) menjawab, "Baiklah."
"Maaf sudah membuatmu mengalami semua ini, (Y/n). Aku tidak akan membiarkan hal serupa terjadi kembali padamu."
---------------
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Time and Fallen Leaves
Fanfiction|Ushijima Wakatoshi x Reader| I'm walking barefoot through the memories With the fallen leaves I'm letting go of the people I haven't been able to forget I'm walking barefoot through the memories To the red-stained sky I'm raising up the people who...