Time and Fallen Leaves

963 93 6
                                    

Musim gugur, tiga tahun kemudian

.

Mata (Y/n) mengerjap, menyesuaikan kondisi penerangan yang kini disinari cahaya sang surya. Mata coklatnya meneliti setiap sudut ruang. Dilihatnya sebuah meja tidur kecil dengan sebuah lampu tidur dan arloji persis di sebelah kasur persinggahannya.

Berikutnya sebuah jendela dengan dua lapis tirai masuk dalam inderanya. Tirai dalam berupa tirai tipis bewarna putih tertutup rapat dan tirai luar berupa tirai tebal bewarna cream yang terbuka di bagian tengah. Rupanya dari situ asal cahaya yang membangunkannya.

Dialihkan manik coklatnya ke arah arloji kecil di samping lampu tidur.

Jam tiga sore.

Ketika hendak bangun, ia baru merasakan bahwa ada sepasang tangan kekar yang melingkar ditubuhnya. Satu melingkar di bagian pinggang dan satu lagi melingkar didadanya. Ia juga merasakan punggungnya yang terekspos bersentuhan langsung dengan dada bidang dan otot-otot perut pria dibelakangnya, yang sama-sama terekspos tentu saja.

Ah, ia baru ingat kalau mulai hari ini ia tidak tidur sendirian lagi.

Senyum tulus terlukis diwajahnya seraya kembali memejamkan mata guna menikmati kehangatan pria yang sedang memeluknya. Perlahan tapi pasti, ia memutar tubuhnya dalam dekapan si pria hingga kini ia bertatap muka dengan si pria.

Wajah si pria tampak polos saat ia tidur. Berbeda dengan wajah stoic dan blak-blakan yang selalu ia gunakan sehari-hari. Tangan (Y/n) terangkat untuk mengelus pipi si pria. Begitu jemari kecilnya ada dalam pandangan, ia melihat sebuah benda bewarna perak melingkar di jari manisnya.

Ya, mereka sudah berstatus sebagai suami istri.

Pernikahan mereka berlangsung sederhana dan hanya dihadiri keluarga dan kerabat. Kemarin tepatnya, adalah hari paling membahagiakan bagi (Y/n) dimana ia akan memulai hidup baru sebagai seorang Ushijima. Mendampingi sang suami dalam senang maupun susah, dalam kaya maupun miskin. Hidup bersama orang terkasih. Menyayangi sepenuh hati. Bersama Ushijima-Ushijima kecil yang berlarian di rumah mereka.

Sampai nanti anak mereka tumbuh dewasa. Sampai nanti mereka sudah beruban dan dikelilingi cucu-cucu yang menggemaskan. Sampai maut memisahkan. Membayangkannya saja sudah membuat (Y/n) senyum-senyum sendiri.

Tapi...

Tidak semua cerita berjalan dengan mulus bukan?

Tidak mudah bagi mereka untuk sampai ke prosesi sakral bernama pernikahan dan mengucap kata, "Aku bersedia"Memang, secara langsung ibu dan nenek Wakatoshi sudah meminta maaf. Namun takdir masih senang bermain-main dengan mereka.

Tidak muluk-muluk, hanya masalah tempat. Tapi sampai sekarang masih belum terselesaikan. Terpisah beratus-ratus kilometer dari Tokyo ke Hokkaido benar-benar menguji kesabaran dan kesetiaan mereka.

Tak perlu lah dikatakan apa saja yang mereka alami. Toh baik dari (Y/n) maupun Wakatoshi sendiri sudah mulai mengikhlaskan semuanya dan menjadikannya sebagai pelajaran.

Mereka memang sudah berstatus sebagai seorang suami-istri, tapi mereka belum tinggal seatap. Ia bohong kalau ia tidak ingin tinggal satu atap dengan Ushijima. Namun apa daya, panggilan tugas membuatnya harus bersabar lagi entah sampai kapan.

Ikatan dinas (Y/n) di Hokkaido sudah dipastikan belum selesai karena baru berjalan tiga tahun.

Wakatoshi secara gamblang meminta (Y/n) untuk pindah sekolah ke Tokyo. Sayangnya, di Tokyo sendiri belum membutuhkan tenaga pengajar baru. Mau tak mau, ia harus rela ber-LDR-an lagi dengan sang istri.

Jemari lentik (Y/n) secara perlahan menuruni setiap tubuh Wakatoshi, mulai dari pipi lalu ke leher dan berhenti di bahu lebar Wakatoshi. Pipinya bersemu merah menyadari betapa atletis suaminya ini. Meskipun sudah melihat semua secara keseluruhan, tetap saja batinnya tidak kuat kala melihat otot-otot indah milik Wakatoshi.

Ia tahu Wakatoshi itu tinggi. Tapi tidak pernah menyangka kalau dirinya akan terlihat sekecil ini ketika di sebelah suaminya. Tangan (Y/n) bahkan tidak bisa melingkar sepenuhnya di tubuh Wakatoshi. Berkebalikan dengan sang suami yang bisa dengan mudah mendekap tubuhnya. Bahkan tanpa kesulitan mampu menggendongnya seolah tubuh (Y/n) bak sehelai bulu.

Sekilas melihat empat goresan tipis di sekitar punggung Wakatoshi. (Y/n) sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat ke belakang punggung Wakatoshi.

Benar dugaannya. Itu adalah bekas yang ia tinggalkan sisa tadi malam. Harus ia akui, untuk ukuran seorang yang kaku dalam urusan sosial apalagi wanita, Wakatoshi sangat lihai pada malam pertama mereka. Memperlakukan (Y/n) layaknya porselen yang bisa pecah kapan saja. Di beberapa kesempatan, ia mengeluarkan kemampuan yang ia tahan untuk menunjukkan siapa yang dominan dalam permainan mereka.

Wajah (Y/n) kembali memanas mengingat malam pertamanya dengan Wakatoshi. Tubuhnya masih sakit dan pegal di beberapa bagian, terutama pinggang ke bawah.

Sebuah keajaiban ia bangun lebih dulu dari Wakatoshi. Masalahnya, mereka baru selesai pukul empat pagi. Tiga ronde saja sudah membuatnya hampir pingsan, ternyata berlanjut sampai ayam jantan berkokok.

Wakatoshi dengan tenaga monsternya memang mengerikan.

Kepala (Y/n) kembali menyandar di atas bantal. Tangannya bertengger lagi mengelus pelan pipi Wakatoshi. Ingin disetiap bangun tidurnya selalu ada Wakatoshi yang memeluknya. Bertukar morning kiss dan obrolan singkat pagi hari.

Kedua kelopak mata Wakatoshi mengerjap lalu terbuka. Terlihatlah kedua manik zaitun milik sang suami.

"..(Y/n)..?", tanya Wakatoshi dengan suara groginya. Bukan pertama kali ia mendengar suara bariton bangun tidur milik Wakatoshi. Lagi-lagi, kesan seksi dari suara yang seperti itu yang selalu terngiang di pikiran (Y/n).

"Ini jam tiga sore?", tanya Wakatoshi menyipitkan matanya menatap angka yang tertera di arloji meja tidur. Masih tangan di pipi Wakatoshi, (Y/n) mengangguk.

Wakatoshi mengeratkan pelukannya yang sempat mengendor. Dibenamkan wajahnya di leher sang istri sesekali dikecup. (Y/n) membalas dengan melingkarkan tangannya di bahu Wakatoshi.

Wakatoshi menyeringai penuh kemenangan kala melihat leher sang istri penuh kissmark. Menandakan bahwa wanita dalam pelukannya kini benar-benar miliknya bukan milik pria lain.

Dihembuskan nafas hangatnya ke salah satu titik di leher (Y/n). Mendapat reaksi yang memuaskan dari yang bersangkutan, Wakatoshi melanjutkan dengan mencium, menghisap, menjilat, bahkan menggigit titik yang dimaksud.

(Y/n) mengeratkan tangannya yang melingkar di bahu Wakatoshi. Melenguh tertahan kala titik lemahnya kembali diserang oleh Wakatoshi.

Wakatoshi tahu, tak setiap hari ia bisa seperti ini dengan (Y/n). Memanfaatkan setiap detiknya dengan menunjukkan betapa besarnya rasa sayangnya pada (Y/n). Betapa senangnya bisa memiliki (Y/n) sebagai teman hidupnya

"Selamat sore, (Y/n)."

Wakatoshi yakin suatu hari nanti ia bisa mendengar istrinya memanggil namanya saat bangun tidur setiap hari. Berusaha keras menyatukan mereka dalam satu rumah dan mewujudkan keinginan-keinginan mereka sebagai suami-istri.

Serangan Ushijima di leher (Y/n) berhenti. Kembali membenamkan wajahnya di lekukan leher sang istri.

"Selamat sore juga--"

(Y/n) mencium singkat pipi Wakatoshi sebelum menyandarkan kepalanya di bahu Wakatoshi lalu berbisik.

"--Wakatoshi."


-----SELESAI-----

Time and Fallen LeavesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang