Hari ini, aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah menggunakan sepeda. Bang Devan sedari tadi sibuk mengoceh seberapa jauhnya sekolahku atau sebesar apa kemungkinan aku bakalan telat kalau pake sepeda. Ayolah, Bang Devan cuma terlalu berlebihan. Umurku sudah 15 tahun dan desember nanti genap 16 tahun. Aku sudah cukup besar untuk pergi ke sekolah sendirian.
"Bang.." Aku memeluk lengannya erat dan mengeluarkan jurus andalanku. Puppy eyes, "Boleh ya? Pliiss."
Wajah Bang Devan semakin masam. Tampak tak rela walaupun pada akhirnya ia mengizinkan dengan syarat agar aku memakai jaket karena nanti siang pasti bakalan panas. Aku tidak tau kenapa Bang Devan sepertinya terobsesi sekali dengan kulit putihku.
Setelah puas Bang Devan peluk-peluk, begitu aku selesai memakai jaket, aku langsung ke ruang makan untuk pamit sama Papa.
"Adek berangkat ya, Pa," pamitku sambil mencium punggung tangannya.
"Hati-hati ya, Dek."
Aku mengangguk, lalu segera ke garasi rumah dengan Bang Devan yang dengan setia mengekoriku.
"Adek pergi ya, Bang!" pamitku.
"Hati-hati! Jangan kenceng-kenceng ngayuhnya! Jangan ke tengah jalan! Hati-hati kalo ada mobil! Liat-liat jalannya, kalo ada lubang pelan-pelan! Jangan sampe-"
"Dadaaaahhh!!"
Dan aku langsung pergi dari sana. Aku tau itu tidak sopan, tapi mau gimana lagi? Bang Devan khawatirnya kelewatan sih. Bukannya aku tidak suka, tapi kadang-kadang itu menyebalkan juga.
Kurang lebih 20 menit kemudian, aku sampai di sekolah. Tidak ramai, tapi tidak sepi juga. Aku langsung memarkirkan sepedaku di parkiran khusus sepeda. Sudah ada beberapa sepeda yang terparkir dengan manis di sini. Aku langsung turun dan menstandarkan sepeda. Lalu, mengacak pelan rambutku yang masih agak lembab sambil berjalan masuk ke sekolah.
Begitu sampai di kelas, aku terdiam. Kosong. Ini aku tidak salah masuk kelas kan?
Kulirik papan nama kelas yang ada di atas pintu kelas. X MIPA E. Bener kok. Tapi kenapa ngga ada satu manusia pun di sini?!
Aku segera masuk dan meletakkan ranselku ke atas meja, lalu disusul dengan jaket. Setelah itu, aku berjalan mendekati jendela kelas yang mengarah ke gerbang sekolah. Ku buka jendela paling depan dan menumpukan kedua lenganku di sana sambil melihat-lihat siswa-siswi yang datang.
Mereka datang dari berbagai arah. Ada yang pake motor, sepeda, mobil, ataupun diantar oleh Ayah ataupun Ibu mereka. Tapi kayaknya yang pake mobil itu guru deh, bukan murid.
Kemudian, perhatianku tertuju pada seorang siswi yang baru saja turun dari motor yang dikendarai oleh seorang wanita paruh baya yang kemungkinan besar adalah ibunya. Dia tertawa. Terlihat begitu bahagia. Lalu, mencium punggung tangan ibunya dan mengucapkan sesuatu hingga mereka tertawa lagi.
Ada sesuatu di dalam tubuhku yang terasa aneh saat melihat interaksi mereka. Sesuatu yang membuatku tidak suka. Membuat aku risih. Karena.. aku menginginkannya. Tidak semua orang ada kesempatan untuk tertawa ataupun menjalin hubungan baik dengan Ibu mereka sendiri, termasuk aku. Makanya, aku selalu tidak suka jika ada orang yang terlihat bahagia dengan Ibu mereka. Jahat ya. Perasaan macam ini disebut apa? Iri kah? Cemburu kah? Atau apa?
Aku juga ingin bisa seperti itu. Tapi, keadaannya tidak memungkinkan sekali. Terlalu mustahil.
Aku? Bareng Mama? Ketawa bahagia kayak gitu? Meh, dunia pasti kiamat.
Sebaik apapun tingkahku di depannya, sesopan apapun sikapku padanya, atau sepintar apapun otakku untuknya, dia tidak akan pernah melihat ke arahku. Heh, ya pasti lah. Di matanya kan aku cuma anak haram yang dibencinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Boy [SELESAI] ✔
Romance"Kalo Mian mau cari orang lain ngga masalah. Aku sadar diri kok." . . "Gue nerima apapun keadaan lo, Gi. Ngga ada orang lain yang bisa ngegantiin lo di hati gue." ---- Cover di atas dibuat oleh @baekfii CERITA INI MERUPAKAN HASIL REVISI. PUBLIKASI A...