"Mian..." Si mungil itu menoleh, "Ayo, kita berhenti sampai di sini."
Damian terdiam. Menatap paras manis itu dengan tak percaya. Apa Gian baru saja ingin memutuskan hubungan mereka?
"Gi, jangan bercanda."
"Aku ngga bercanda."
"Engga. Gue ngga mau," tangan kanan Gian, Damian genggam semakin erat. Tak mau melepaskan. Setelah semua yang mereka lalui. Setelah apa yang sudah dia lakukan pada pengelihatan Gian, dan si mungil ini mau mereka berhenti?
BIG NO.
Damian tidak akan pernah mau melepaskan kekasih mungilnya ini. Tidak akan pernah. Sampai kapanpun.
"Mi, aku buta," ujar Gian lirih.
"Terus? Gue ngga peduli."
"Dan aku ngga tau kapan bisa ngeliat lagi. Daripada Mian buang-buang waktu sama aku, mending kita stop. Mian cari orang lain aja. Yang lebih sempurna."
Damian menggelengkan kepalanya cepat, biarpun sebenarnya dia tau Gian tidak bisa melihat pergerakannya, "Gian, gue ngga mau!"
Satu tangan Damian yang lain, menarik tengkuk Gian untuk mendekatkan wajah mereka, "Dengar, gue ngga akan pernah ninggalin lo, gimana pun keadaan lo sekarang atau di masa yang akan datang. Lo punya gue. Selamanya."
Gian berdecak pelan. Sebelah tangannya meraba perlahan, hingga bisa menyentuh lengan Damian, dan melepaskan tangan itu dari tengkuknya.
Dia tahu, Damian merasa bersalah atas keadaannya sekarang. Pemuda itu merasa bahwa semua ini tanggung jawabnya. Padahal, menurut Gian ini bukan salah Damian sama sekali. Ini kecerobohan orang yang menabrak mobil mereka.
"Mi, plis?" Gian melepaskan genggaman tangan mereka, "Aku pengen sendiri."
"Oke, gue bakal biarin lo sendiri. Tapi, gue ngga mau hubungan kita sampai di sini," ujar Damian.
Gian mengambil napas dalam, dan mengembuskannya perlahan. Baru ingat bahwa Damian sama batunya dengan dia. Pemuda ini sudah pasti tidak mau menyerah begitu saja. Ia kembali berdecak pelan dan mengusak rambutnya kasar.
"Terserah," ujar Gian. Tidak mau memperpanjang masalah ini. Dia lelah. Bertengkar dengan Damian hanya akan membuatnya semakin down.
"Gue pergi begitu Abang lo dateng--"
"Pergi sekarang."
Damian menatap Gian dengan nanar. Kedua matanya beralih menatap ke arah lain, lalu menelan ludah dan mengangguk mengerti, "Oke."
Ia mengambil napas dalam dan mulai menggerakkan kursi rodanya. Sedikit berdecit karena dia lupa menurunkan tuas rem. Damian berdecak dan menurunkan benda itu, barulah mendorong rodanya kebelakang untuk mundur, lalu menahan roda sebelah kanan agar bisa memutar arah.
Gian terdiam mendengarnya. Bibir bawahnya bergetar pelan.
"M-Mian.."
Tangan Damian berhenti, dan ia mendengus. Tadi dia disuruh pergi, kenapa sekarang dipanggil? Pemuda tinggi itu menoleh, "Apa?"
Dan dia kaget bukan main karena mendapati air mata sudah mengalir di pipi putih kekasihnya tersebut.
"Gian, kenapa?" Damian panik. Roda di kursi ia putar dengan cepat. Hampir kehilangan kendali karena kepanikannya itu, namun bisa ia kontrol lagi dengan cepat. Lalu, kembali mendekat ke sisi ranjang.
Tuas rem ia tarik. Tangan Gian kembali ia genggam. Sementata tangan satunya mencoba untuk mengusap air mata itu.
"Kenapa? Ada yang sakit?" tanyanya khawatir. Tapi, kekasihnya itu malah semakin tersedu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Boy [SELESAI] ✔
Romance"Kalo Mian mau cari orang lain ngga masalah. Aku sadar diri kok." . . "Gue nerima apapun keadaan lo, Gi. Ngga ada orang lain yang bisa ngegantiin lo di hati gue." ---- Cover di atas dibuat oleh @baekfii CERITA INI MERUPAKAN HASIL REVISI. PUBLIKASI A...