MB : 24

16.6K 2.4K 340
                                    

Damian menggerutu pelan ketika harus berjalan dibantu dengan tongkat kruk. Dia sudah diperbolehkan untuk pulang. Saat ini, ia sedang dalam perjalanan menuju ruang inap Gian. Mau pamitan. Kekasih mungilnya itu masih mendekam di sini. Papa dan Abangnya kekeh untuk membiarkan Gian dirawat selama beberapa saat lagi. Mereka khawatir, akan terjadi sesuatu jika Gian mereka bawa pulang. Jadi, sebelum si mungil itu sembuh total, kedua pria tersebut tidak akan membiarkannya keluar dari rumah sakit.

Pintu kamar itu, Damian ketuk pelan beberapa kali, barulah membukanya. Seperti biasa, Gian tengah duduk diam tanpa melakukan apapun. Di ruangan itu juga, ternyata ada Papanya. Tampak sedang sibuk dengan beberapa berkas perusahaan yang tersusun asal di atas meja.

Duda beranak dua itu mengangguk dua kali saat Damian bergumam 'permisi'. Dengan perlahan, Damian masuk dan menutup pintu itu. Lalu, menggerakkan tubuhnya menuju Gian yang sedari tadi tak ada respon. Sepertinya pemuda manis itu sedang melamun.

Begitu sampai di dekatnya, Damian menoel pelan dagu itu. Yang mana, membuat si mungil tersebut tersentak kaget karena mendapatkan sentuhan tiba-tiba.

"Melamun ya?" tanya Damian.

Gian mengusap dadanya prihatin, "Apaan sih, ngangetin aja. Kalo aku jantungan gimana?" gerutunya sebal.

Damian terkekeh pelan dan mendudukkan dirinya di sisi ranjang. Kruk yang ia pakai, ia senderkan di meja nakas. Lalu, menatap Gian dengan lekat. Kekasihnya tampak semakin kurus. Ujung jemari Damian menyentuh pelan pipi putih itu.

"Sarapan tadi dihabisin ngga?" tanyanya lembut.

Gian mengangguk.

"Jangan bohong," Papanya yang sedang menulis entah apa di atas berkas-berkas itu, menyahut.

Lalu, Gian menggeleng, "Makanannya ngga enak," rajuknya pelan.

Damian menghela napas, "Namanya juga makanan rumah sakit. Nanti, makannya dihabisin. Lo makan banyak aja kurus, apalagi ngga makan. Mau ya, nanti tinggal kulit sama tulang aja?"

Gian mencebik, "Kalo aku tinggal kulit sama tulang aja, memangnya kenapa? Mian mau ninggalin?"

Hela napas kembali terdengar, "Bukan itu maksud gue. Kalo lo ngga makan, nanti lo tambah sakit. Terus, ngga keluar-keluar dari sini. Emangnya lo ngga mau pulang?"

"Ya, mau."

"Makanya, kesehatannya dijaga, oke?" ujar Damian lembut.

Gian mengangguk. Rambutnya diusak pelan. Tangan besar yang masih berada di pucuk kepalanya itu, Gian ambil dan ia genggam.

"Mian hari ini pulang ya?" tanyanya.

Damian mengangguk, "Iya."

"Enaknya," gumam Gian.

"Nanti lo bakal gue kunjungin sering-sering kok."

Kedua sudut bibir Gian tertarik membentuk seulas senyum lemah. Ia menggeleng, "Ngga usah. Mian sembuhin aja dulu kakinya. Jangan gerak banyak-banyak."

Damian menatap kekasihnya itu dengan lekat. Tautan tangan mereka, ia eratkan. Lalu, menyatukan dahi mereka. Tangan kirinya yang bebas, ia ulurkan untuk menangkup pipi Gian dan mengusapnya dengan lembut.

"Sayang.." bisiknya pelan.

Gian tak membalas. Ia melepaskan tautan tangan mereka. Dahi tak lagi menempel. Lalu, menyandarkan kepalanya di bahu Damian dan memeluk tubuh besar itu.

"Mi.. kalo aku lupa muka Mian, gimana?" tanya Gian pelan.

Tangan besarnya, Damian arahkan untuk mengelus lembut belakang kepala Gian, "Ngga akan. Lo ngga akan lupa, kalo lo mikirin gue tiap hari," ujarnya.

Ma Boy [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang