MB : 23

16.4K 2.4K 243
                                    

Damian berdecak sebal melihat Rika yang sedang berkacak pinggang di hadapannya.

"Emang ya lo berdua. Orang pada seneng-seneng liburan, kalian malah asik ngedekam di rumah sakit gara-gara kecelakaan. Gimana ceritanya sih?" omelnya.

Kedua bahu Damian naik tak peduli, "Ya begitu," balasnya malas.

"Ya begitu, gimana? Lo kalo mau kecelakaan jan ajak-ajak Gian napa? Kalo mau mati, ya mati aja sendiri," gerutu gadis itu lagi. Merasa kesal karena Damian membahayakan nyawa si manis kesayangannya.

Damian mencibir. Siapa juga yang mau membahayakan Gian? Menyebalkan sekali. Kenapa pula, Rika harus datang ke sini. Membuat moodnya turun saja.

"Udahlah, Rik. Mereka kecelakaan juga bukan mau mereka. Yang penting kan sekarang dua duanya selamat," ujar Rey mencoba untuk menenangkan Rika.

Rika mendengus. Kedua tangannya beralih bersedekap dada, "Btw, kita-kita cuma dapet info kamar lo doang. Si Gian ada di ruangan mana? Kami juga mau jengukin dia."

Damian terdiam sejenak. Apa Gian akan baik-baik saja, jika dijenguk? Bukannya akan terasa semakin menyakitkan jika ia tidak bisa melihat teman-temannya lagi? Maksudnya, dia tahu Gian memang sadar bahwa ia sudah tidak bisa melihat, tapi bukankah semuanya akan semakin terasa sakit jika fakta itu ia rasakan secara langsung?

"Jangan sekarang," gumam Damian. Kedua matanya menatap ke arah lain.

Dahi Rika mengerut, "Memangnya kenapa?"

Pemuda bertubuh bongsor itu menghela napas, "Gian... butuh waktu," ujarnya.

Kerutan di dahi Rika semakin dalam. Butuh waktu?

"Nanti juga lo lo pada bakalan tau. Yang jelas, gue mohon, untuk kali ini jangan ganggu dia dulu."

Mereka terdiam mendengarnya. Rika melangkah mendekat. Kedua telapak tangannya bertumpu pada pinggir ranjang Damian. Raut khawatir tidak bisa ia sembunyikan, "Tapi, dia baik-baik aja kan?" tanyanya.

Damian balas menatap Rika. Apa Gian sudah baik-baik saja?

"No. Dia ngga baik-baik aja," ujar Damian pelan.

Kedua tangan Rika mengepal, "Apa dia koma?" tanyanya dengan hati-hati.

Si tinggi itu menggeleng, "Dia sadar."

"Lalu?"

Damian kembali mengalihkan tatapannya. Kemanapun, asal tidak menatap teman-temannya yang datang. Ia mengambil napas dalam, dan mengembuskannya perlahan.

"Gian buta."

*****

Gian duduk diam sambil sesekali memilin selimut yang menutupi kedua kakinya. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Dia tidak bisa apa-apa tanpa pengelihatan. Sebosan apapun ia, tidak ada yang bisa dia lakukan.

Kepalanya bergerak saat mendengar suara pintu yang membuka. Lalu, menutup lagi. Setelah itu, diikuti dengan suara langkah kaki. Tidak hanya satu orang. Dua?

Apa Bang Devan dan Papa?

Lalu, ia mendengar sesuatu diletakkan di meja di sampingnya, bersamaan dengan jemari yang menelusup masuk diantara sela-sela jari tangan kirinya, dan menggenggam lembut.

"Gian..?" suara lembut penuh perhatian ini bukan milik Abangnya. Dahi Gian mengerut. Siapa?

"Ini Kak Diran."

"Ah.." Gian mengangguk. Lalu, bisa ia rasakan, rambutnya diusap dengan lembut.

"Kakak ada bawain buah buat kamu. Kalo kamu mau sesuatu, bilang ya. Biar Kakak bawain."

Ma Boy [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang