MB : 10

22.9K 3.1K 349
                                    

Dan setelah berhasil membuatku terduduk lemas karena ciumannya, Damian langsung pergi begitu saja.

Aku mengatur napas. Wajahku masih terasa panas. Lalu, menyentuh bibirku yang sempat diusap terlebih dahulu oleh Damian tadi.

Rasanya... aneh.

Perutku terasa melilit. Bukan karena sakit perut, tapi karena sesuatu yang lain. Sesuatu yang aku ngga ngerti. Jantung ku juga ikut berdegup kencang. Ah, ini kenapa sih?

Aku bangun, dan segera kembali ke kelas. Damian sudah duduk tenang di sana sambil ngobrol dengan Indra. Dia melirikku, ngebuat aku langsung ngeliat ke arah lain.

Begitu aku duduk di kursi, aku langsung membaringkan kepalaku di meja dengan tangan sebagai bantalan. lalu..

"Jangan lupa," Damian berbisik pelan di telingaku. Wajahku kembali memanas. Aku menyembunyikan wajahku di lengan kiri, sementara lengan satunya mendorong Damian agar menjauh.

"Iya, tau!" ujarku kesal.

Setelah pelajaran Bu Heni, tidak ada guru yang masuk. Rio pun sepertinya malas pergi ke guru piket untuk nanyain ada tugas atau enggak.

Aku cuma diam di kursi sambil ngemilin makanan ringan yang dikasi Damian tadi. Sementara sebagian besar anak cowok yang lain, pada ngumpul di pojok kelas. Main game.

"Lo ngga ikut main ML?" tanya Damian sambil nunjuk ke arah gerombolan itu.

Aku menggeleng, "apalah daya aku yang cuma ngerti main Piano Tiles 2," ujarku.

Dia ketawa. Ketawa yang meremehkan gitu. Ngebuat aku langsung ngelemparin dia pake keripik yang tadi ada di tangan, karena ngga terima. Tawanya sontak langsung berhenti.

"Gue gencet juga lo ya!" serunya kesal, "heran gue. Suka banget sih ngebuat naik darah!"

"Damian duluan yang mulai!" seruku tak mau kalah.

"Kan gue udah bilang, kalo gue yang mulai, lo ngga boleh bales!"

"Idih! Aku mah ogah jadi pihak tertindas!"

Damian bersedekap dada, "biarpun lo ngga mau jadi pihak tertindas, lo harus tunduk dalam kuasa gue!"

Dahiku mengernyit, "emangnya Mian siapa ngatur-ngatur!"

"Gue-!"

Dia diam. Matanya mengerjap, lalu dahinya mengerut, "gue.."

"Siapa? Hah? Siapa?" tanyaku sengak.

Wajah Damian datar. Lalu, menarikku geram dan memberantakan rambutku. Lalu, memencet kedua pipiku dengan tangan kanannya yang besar.

"Beneran gue gencet juga lo!"

Aku mendorong dahinya. Menghalau tangan-tangannya, lalu mencoba balas menyerang.

Dan pergulatan kami, dihebohkan dengan sorak sorai dari anak-anak perempuan yang menyemangati.

****

Wajahku tertekuk, dan berjalan menuju parkiran sepeda dengan kaki menghentak. Di belakang, Damian terus mengekoriku.

"Ngapain sih, ngikut-ngikut?!" seruku sebal, "parkiran motor di sana!" tunjukku ke arah yang berlawanan.

"Yeee, suka-suka gue dong! Kaki siapa nih? Kaki gue! Geer amat lo!" balasnya.

Aku melengos dan berjalan cepat menuju sepedaku.

"Sepeda-sepeda di sini bagus-bagus juga ya," gumam Damian pelan sambil melihat-lihat deretan sepeda dengan telunjuk dan ibu jari yang mengapit dagu.

Ma Boy [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang