Sarapan hari ini terasa aneh. Kami bertiga hanya diam selama sarapan. Raut Bang Devan juga entah kenapa terlihat suntuk. Kemarin dia pergi entah kemana, dan baru pulang tadi pagi. Itu merupakan hal aneh menurutku, karena sebelum-sebelum ini, Bang Devan tidak pernah seperti itu.
Papa juga tidak menegurku. Kami masih bicara, tapi dia hanya menanggapiku dengan dingin. Aku jadi semakin merasa bersalah. Ah, penyesalan memang selalu datang belakangan ya...
"Dek, kamu pake sepeda?" tanya Bang Devan.
Aku mengangguk. Karena sudah tidak nafsu untuk sarapan, aku langsung memanggul ranselku.
"Adek pergi dulu ya," pamitku. Lalu, menyalim tangan Papa dan Bang Devan.
"Abang anter aja ya?" ujar Bang Devan khawatir.
"Ngga usah, Bang. Adek bisa sendiri," balasku, lalu pergi ke garasi untuk mengambil sepeda dan langsung pergi ke sekolah.
Kali ini, Damian datang lebih awal. Dia sudah duduk manis di kursinya sambil main game di ponsel dan ngemilin poki strawberry.
Aku segera duduk di sampingnya, lalu menatap poki itu dengan ingin. Pengen...
Damian melirikku, dan menggeser kotak poki itu ke tengah, "kalo mau, ambil aja."
Ah, aku seperti bisa melihat cahaya dari surga yang menyinarinya, serta nyanyian-nyanyian yang menyejukkan hati. Damian baik sekali hari ini.
Aku menatapnya penuh haru, "makasih," lalu mengambil satu batang poki dari dalam sana, dan menggigitnya. Ah, renyah sekali!
Tapi, rasanya baru beberapa gigitan, batangan poki itu habis ku makan. Aku kembali menatap Damian. Berharap dia akan menoleh dan menyadari keinginanku untuk mengambil batang pokinya lagi.
Tapi, kedua matanya terus fokus pada layar ponselnya. Menyebalkan sekali! Hei! Ayo, menoleh! Tatap aku!!
Tiba-tiba saja, Damian berdecak. Lalu, meletakkan ponselnya dengan kasar. Game over. Setelah itu, barulah mata sewarna madunya terarah kepadaku.
"Apa?" tanyanya.
"Boleh minta lagi ngga?" Segera ku keluarkan jurus puppy eyes ku yang kata Bang Devan imut, sambil menunjuk pokinya.
Dahi Damian mengerut, dan menggeser kotak poki itu tepat ke hadapanku, "buat lo," setelah itu, dia mengambil kresek putih yang ukurannya lumayan besar dengan logo salah satu minimarket, dan meletakkannya di depanku juga, "sekalian, nih, abisin."
Kantong itu berisi banyak makanan ringan dan sebotol minuman soda.
"Loh? Kan aku cuma minta pokinya doang?" Aku menatapnya bingung.
"Kalo lo ngga mau, ya udah. Gue bagiin ke anak-anak lain."
"Nggak! Kan udah dikasi ke aku! Ngga boleh dikasi ke orang lain lagi!" seruku sewot sambil melindungi kresek itu.
Damian mengerjap, lalu tertawa, "lo apaan sih?! Haha.. kalo lo segitunya mau, gue bisa beliin kali!"
Kini, aku yang mengerjap, "lha, terus ini yang beli siapa?" tanyaku sambil menunjuk kresek itu.
"Oh, itu si bajing-Alvano maksud gue, yang ngebeliin. Soalnya, gue udah ngebantuin dia beberapa waktu lalu. Tch, padahal ngga sebanding. Seharusnya dia ngasi gue sesuatu yang lebih mahal," gerutu Damian pelan.
"Terus, kenapa kasi ke aku?"
"Gue ngga suka ngemil," ujar Damian.
Wah, aneh! Ngemil kan enak! Apalagi cemilannya gratisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Boy [SELESAI] ✔
Romance"Kalo Mian mau cari orang lain ngga masalah. Aku sadar diri kok." . . "Gue nerima apapun keadaan lo, Gi. Ngga ada orang lain yang bisa ngegantiin lo di hati gue." ---- Cover di atas dibuat oleh @baekfii CERITA INI MERUPAKAN HASIL REVISI. PUBLIKASI A...