[ Damian PoV ]
Gue cuma natap makan malam gue dengan datar. Selera makan gue langsung ilang pas ngeliat Kak Dani. Gue pun mulai masukin makanan ke mulut gue dan mengunyahnya dengan enggan.
"Damian kenapa? Kok lesu?" tanya Bunda khawatir. Gue cuma senyum dan ngegeleng. Malu ya? Apa bener Bunda bakalan malu punya anak kek gue?
Ah, kenapa sih homo, gay, atau apalah itu harus tabu di sini? Kenapa ngga kayak negara-negara lain yang bisa nerima? Gue pun ngehela napas sejenak.
"Yah.." panggil gue. Ayah cuma nyaut 'hmm' doang. Gue tau, Kak Dani lagi natap gue tajam sekarang. Ngga perlu noleh, gue bisa ngerasain. Ngebuat makanan yang ada di depan gue benar-benar ngga bikin gue tertarik buat makan lagi.
"Apa?" tanya Ayah.
"Damian.. suka sama cowok."
Nala langsung terbatuk begitu ngedenger perkataan gue. Kak Dani pun langsung ngasi air minum buat dia. Mungkin dia ngga nyangka kalo gue bakal ngomong sekarang.
"Kamu becandanya ngga lucu tau," ujar Bunda.
Huft.. kayaknya bakalan runyem nih. Gue pun natap mereka berdua dengan serius.
"Dami ngga bercanda, Bun. Ngga ada gunanya bercanda sekarang," ujar gue datar, "kalian... malu ya kalo punya anak kayak begini?"
Ayah sama Bunda terdiam. Mungkin terlalu kaget, karena perkataan gue yang tiba-tiba.
"Yah, Bun, jangan terlalu dipikirin! Damian pasti cuma bercanda!" seru Kak Dani. Gue langsung ngedelik ke arahnya, yang dibales dengan tatapan tajam.
"Bilang kalo lo cuma bercanda!" ujar Kak Dani ke gue.
Gue kembali natap kedua orang tua gue, "Damian serius."
"Dam!"
"Kamu bisa sembuh."
Gue sama Kak Dani sontak langsung natap Ayah.
Apa?
Sembuh?
"Jadi," di bawah meja, tangan gue mengepal, "maksud Ayah, yang Damian rasain ini penyakit?" tanya gue tak percaya. Ayah cuma ngangkat kedua bahunya dan mengangguk.
"Ah, iya juga ya," punggung gue menyandar dengan lemas, "kalian mana mungkin ngerti perasaan milik orang seperti kami," ujar gue, lalu tersenyum sinis, "kalian yang hidupnya bahkan lebih lama dari Dami, ngga bisa berpikir lebih luas."
"Dam, jaga omongan lo!" Kak Dani menggeram kesal.
"Itu bukan cinta Damian," ujar Ayah.
Gue sontak mengangguk, "bukan cinta ya? Kalo ini bukan cinta, berarti Ayah ngga cinta ke Bunda," gue ngedorong piring gue ke depan, lalu melipat kedua tangan di sana dan mencondongkan badan gue ke depan, "perasaan kita ini sama, Yah. Damian juga sadar, Damian masih muda. Masih enam belas tahun. Mungkin menurut kalian, masih anak-anak. Tapi, anak enam belas tahun ini tau, gimana rasanya mencintai seseorang."
Punggung gue kembali menyandar, "kata orang, cinta itu universal. Bebas untuk siapa aja. Untuk golongan apapun. Ngga mengenal kasta. Umur bukan jadi pembatas. Bisa dirasain untuk semua orientasi. Blablablablah," ujar gue dengan nada mencemooh, "tapi, nyatanya ngga gitu kan? Kalian pernah mikir ngga sih, gimana rasanya kalo kalian dihina, dihujat, dibilang menjijikan, bahkan dianggap penyakit hanya karena rasa cinta yang kalian rasakan?" tubuh gue menegak. Telunjuk kanan gue menunjuk dada gue sendiri, "rasanya sakit, Yah, Bun," ujar gue pelan.
Bunda menatap gue sendu, "Dami-"
"Damian tau kalau ini salah. Tau banget malah. Kata orang, hidup ini singkat. Jadi, apa salahnya sih, anak enam belas tahun ini, pengen ngerasain kebahagiaan cinta?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Boy [SELESAI] ✔
Romance"Kalo Mian mau cari orang lain ngga masalah. Aku sadar diri kok." . . "Gue nerima apapun keadaan lo, Gi. Ngga ada orang lain yang bisa ngegantiin lo di hati gue." ---- Cover di atas dibuat oleh @baekfii CERITA INI MERUPAKAN HASIL REVISI. PUBLIKASI A...