Damian melipat kertas origami berwarna merah dalam diam. Di sampingnya, Gian duduk dengan kepala yang bersandar pada bahunya. Tangan kiri si manis itu, menyelip masuk untuk melingkar di lengan kanan.
"Susah?"
Suara lirih itu membuat Damian melirik ke arahnya sekilas. Lalu, menggeleng, "Ngga juga."
"Mawar, kan?"
"Yup."
Bagian tengah bunga origami yang Damian buat, diputar perlahan. Lalu, bagian ujungnya dilengkungkan agar lebih cantik. Bunga itu, ia letakkan di sisi tubuhnya yang lain, dan mengambil satu kertas origami lagi berwarna hijau. Dia akan membuat batangnya.
"Mian akhir-akhir ini ke sini setiap hari, apa Bunda sama Ayah Mian ngga marah?" Gian menumpukan dagunya pada pundak tersebut. Kedua mata menutup dengan tenang.
Damian tak menjawab. Kedua tangannya masih menyibukkan diri dengan melipat kertas. Setelah selesai, ia menyatukan bunga serta batang itu, dan mengambil tangan Gian yang tidak memeluk lengannya agar pemuda itu bisa memegang bunga hasil kerjanya tadi.
"Oh," si mungil itu menegakkan tubuhnya. Tangan yang tadi melingkar di lengan Damian, ia tarik. Ujung jemarinya menyentuh bunga tersebut dengan penuh hati-hati, "Pasti cantik," dia tidak akan merabanya dengan banyak karena itu hanya akan merusak bunga tersebut.
"Gi," Damian menatap kekasihnya itu dengan lekat, "Gue mau ngomong sesuatu."
Gian menoleh. Kelopak matanya sesekali mengedip dengan bola mata yang kadang bergerak tak tentu arah. Tak bersuara, karena menunggu kalimat berikutnya dari Damian.
"Gue..." keraguan semakin menyesakkan rongga dada.
"Kenapa?"
Si besar itu menarik napas dalam. Jika... jika saja keadaan Gian tidak seperti ini, mungkin semuanya akan sedikit lebih mudah. Damian merasa jahat karena harus melakukan ini disaat-saat terendah Gian.
"Gi.." ia menelan ludah sejenak, "Lo tau kan, bokap gue kadang agak... gimana ya gue bilang.."
Gian memiringkan kepalanya, "Ayah Mian ngga jadi setuju sama hubungan kita?"
"Enggak, enggak, bukan itu," sanggah Damian cepat. Ia melirik ke arah lain dengan tak nyaman. Walau sebenarnya, Damian lebih dari tahu bahwa pemuda di depannya ini tidak akan sadar akan perasaannya, "Lo tau kan, hubungan kita kedepannya ngga bakal semudah ini. Maksud gue, gue harus lebih kuat biar bisa ngelindungin lo. Ngga cuma dari fisik, tapi juga dari segi lain. Pendidikan atau.. kerjaan misalnya."
Manik madunya kembali menatap Gian. Pemuda menggemaskan itu tetap diam. Namun di dalam, jantungnya berdegup kencang karena khawatir.
Damian menghela napas.
"Langsung aja, Mi," gumam si mungil itu.
Kekasih besarnya terdiam sejenak, "...gue... gue bakal ngelanjutin sekolah gue ke luar negeri."
Gian tak langsung membalas. Ia mengedip. Lalu, kembali mengarahkan tatapannya ke depan. Ke luar negeri?
"Kapan?" tanyanya.
"...minggu depan."
Mendengar itu, sontak Gian menoleh lagi. Dahinya mengerut, "Minggu depan? Kenapa Mian baru bilang sekarang?" tanyanya tak percaya.
"Gi, maafin gue."
"Dari kapan rencana ini dibuat?"
"Gian, maaf--"
"Aku ngga minta maafnya Mian. Aku nanya, dari kapan rencana ke luar negeri ini dibuat?"
Damian menatapnya sendu, "Sejak gue keluar dari rumah sakit," balasnya. Sebelah tangannya meraih tangan Gian. Lalu, mengecup punggung tangan itu, "Maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ma Boy [SELESAI] ✔
Romance"Kalo Mian mau cari orang lain ngga masalah. Aku sadar diri kok." . . "Gue nerima apapun keadaan lo, Gi. Ngga ada orang lain yang bisa ngegantiin lo di hati gue." ---- Cover di atas dibuat oleh @baekfii CERITA INI MERUPAKAN HASIL REVISI. PUBLIKASI A...