MB : 17

21.2K 2.5K 376
                                    

Aku mengembuskan napas perlahan. Lalu, kembali mengarahkan spion tengah mobil ke arahku untuk memastikan tidak ada yang aneh. Setelah itu, kembali melihat ke arah gerbang sekolah.

"Dek, beneran deh, kamu bisa telat loh. Masuk sana," Bang Devan yang duduk di kursi pengemudi menatapku jengah.

"Bang, aneh ngga sih kalo Adek pake kacamata gini?" tanyaku khawatir, "Ngga usah pake aja deh, ya."

"Kalo kamu ngga pake, untuk apa dibeli. Bagus, kok. Cuma belum terbiasa aja."

"Berarti aneh ya?"

"Imut. Kamu imut."

Aku cemberut, "Abang pasti ngomong gitu biar hati Adek seneng."

Bang Devan menepuk dahinya, lalu menatapku serius, "Dek, kalo kamu ngga mau sekolah, kita pulang sekarang. Abang ada kuliah pagi."

"Tuh, kan!"

Dia berdecak, "Kalo kamu ngga suka, terus kenapa beli yang ini? Kenapa ngga yang lain?"

Aku mencebik. Lalu, kembali menatap ke arah gerbang sekolah. Bang Devan memajukan tubuhnya dan melepas sabuk pengaman yang tadi melingkari tubuhku, lalu membuka pintu mobil di sampingku.

"Bang Devan.." rajukku.

"Kamu udah ngga sekolah berapa lama? Dibawa santai aja."

Aku menatapnya, "Beneran bagus?"

"Iya. Kamu makenya bagus."

Aku memutuskan untuk mengangguk mempercayainya.

"Adek pergi sekolah dulu, ya."

"Iya."

"Abang hati-hati, ya."

"..."

"Abang ntar kalo udah sampe, kabarin Adek, ya."

"..."

"Abang kalo—"

"Udah, sana."

Aku cemberut. Menatap ke arah gerbang sekolah, lalu menatap Bang Devan. Dengan perlahan, aku keluar dari mobil. Tanganku melambai pelan ke arah Bang Devan, barulah menutup pintu mobil dan melangkah masuk ke sekolah dengan kepala menunduk.

Aku malu sekali.

Langkahku semakin memelan saat jarak ke kelas semakin menipis. Bel masuk berbunyi. Aku mengambil napas dalam dan masuk ke dalam kelas sambil memejamkan mata.

"Oh?"

Mataku membuka. Lalu, mendongak menatap Damian yang tengah berdiri di dekat pintu sambil meraut pensilnya. Ia mengerjap. Aku langsung kembali menunduk. Pasti wajahku aneh.

"Eehh?! Gian pake kacamata, woii!!"

Aku menoleh. Shera berseru dengan semangat. Ia memeluk lengan kananku dan menarikku masuk lebih dalam.

"Kok imut?!!"

"Wah!!"

Anak-anak perempuan langsung mendatangiku. Aku menggigit bibir bawahku pelan, lalu menatap mereka, "Ngga aneh, ya?" tanyaku pelan.

Mereka menggeleng.

"Beneran?"

Lalu, mengangguk.

Shera mendekatkan bibirnya ke telingaku, "Pasti Damian suka," bisiknya.

Aku menoleh, "Beneran?"

Dia mengangguk sambil tersenyum manis.

"Kenapa pake kacamata, Gian?"

Aku mengelus tengkukku dengan canggung, "Soalnya, kadang tulisan di papan tulis ngga kelihatan."

Ma Boy [SELESAI] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang