Kalau sedang kesulitan menyampaikan sesuatu, kadang untuk bernapas saja sudah tak teratur. Rasanya sebuah kata bisa dikonversikan menjadi satu ton beratnya. Apalagi banyak kata. Kepala mendadak pening jika hanya dipikirkan saja. Dada juga terasa sesak jika hanya dipendam saja.
Apalagi untuk cowok tipikal Gibran yang ekstrovert dan cinta kejujuran. Menyimpan satu masalah sudah seperti membawa bangkai. Tak bisa membuatnya tenang.
Btw, saat ini Gibran sudah sampai mengantar Agnes ke depan rumahnya. Tapi ada sesuatu yang ingin Gibran sampaikan sebelum perpisahan mereka nanti.
"Nes," Agnes mendongak setelah memberikan helmnya pada Gibran.
"Apaan?"
Gibran tampak gamang. Antara diutarakan atau hanya Gibran yang tahu. Namun, Gibran ingin memilih keputusan yang tidak akan ia sesali nantinya.
"Soal ulang tahun Mira, gue juga diundang sama ulang tahun Elsa. Menurut lo...," Gibran mengusap tengkuknya dan menatap Agnes mantap, "Gue dateng ke mana?"
Agnes tertegun. Pertanyaan itu tak pernah Agnes prediksi sebelumnya. Sejujurnya, Agnes tahu kalau Gibran akan diundang oleh Elsa. Mengetahui keduanya punya hubungan dekat, pasti tidak akan aneh lagi kalau Gibran diundang.
Dan mengenai pertanyaan itu, Agnes tidak menyangka Gibran akan menanyakan langsung pada Agnes.
"Nes?" tanya Gibran lagi ketika melihat Agnes hanya menatap Gibran tanpa ada jawaban.
Gibran sudah menimbang soal pertanyaan ini selama perjalanan tadi. Dan Gibran akan rela membatalkan janjinya pada Elsa kalau Agnes sendiri yang meminta untuk jangan pergi. Gibran sama sekali tak keberatan soal itu.
"Terserah," jawab Agnes membuat dunia sekitar Gibran seakan runtuh.
Ekspresi Agnes tetap saja dingin dan datar. Seolah apa yang diucapkan Agnes tak ada rasa berat sekali ketika meluncur dari mulut Agnes sendiri. Dan Gibran kesusahan menerka apa yang Agnes pikirkan dan Agnes rasakan.
Tetapi Gibran ingin Agnes terlihat cemburu, meski hanya lewat matanya. Gibran hanya ingin itu.
"Elo gak ngelarang gue buat ke Elsa?"
Agnes terpukul. Agnes ingin melarang Gibran. Ia ingin menahan Gibran untuk jangan pergi. Ia ingin Gibran menghabiskan hari Sabtunya untuk Agnes sendiri. Agnes ingin sekali mengatakannya.
Tapi lagi-lagi kekang itu menyeretnya.
Mantan pacar? Apa berhak Agnes membatasi Gibran untuk kemana pun? Apa berhak Agnes melarang Gibran kesana kemari?
Agnes tak punya hak itu.
"Buat apa?" tanya Agnes dingin. "Kalo lo mau pergi, pergi aja."
Agnes hendak berbalik, tetapi Gibran duluan mencengkram pergelangan Agnes.
"Gue masih suka sama elo. Apa gue salah minta persetujuan itu sama orang yang gue suka?"
Tubuh Agnes menegang. Perut Agnes terasa mulas. Raga Agnes seakan tersedot ke dalam ruang waktu. Meninggalkan dirinya dan Gibran. Semuanya seperti berhenti. Ucapan Gibran terus terniang di dalam indra pendengarannya.
Agnes ingin membalas. Namun, semua runtutan kata itu tertahan di ujung lidah. Tidak ada yang bisa meluncurkan kata itu dengan mudah. Seakan ada sesuatu yang kuat, lebar dan tebal menahannya.
"Nes, gue masih suka sama elo."
Agnes sungguh ingin membalasnya. Dan lagi-lagi ada yang menyeret kata-kata itu lebih jauh lagi dari lidahnya. Agnes tak bisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran itu... [COMPLETED]
Teen FictionBerawal dari ikrar sepihak, membuat hubungan Agnes dan Gibran kandas. Gibran yang masih menyayangi Agnes, kalang kabut dibuatnya. Lantaran hubungan keduanya terbilang baik-baik saja. Tidak ada konflik besar yang mendukung mereka untuk putus. Tapi...