Bab 31

602 41 3
                                    

Gerimis hari ini tidak terlalu besar. Gerimis pertama di bulan November. Tapi, sekaligus merayakan ramainya luka yang datang bertubi-tubi pada cewek itu.

Tubuhnya tak luput dari singgahan air dari langit. Tak ada satu tetes pun yang ia rasakan. Semua indra perasanya mendadak mati. Saraf dan perasaannya terasa sudah kadaluarsa. Entah memang mati ataukah karena ia terlalu terbiasa lantaran hidupnya seperti ini terus.

"Kamu nggak sekolah?"

Suara itu menyentaknya kembali ke dunia nyata. Cewek itu tersenyum sekuat yang ia mampu. Geryl bisa menerka senyum itu bukan dari hati. Tetapi, sisa senyum yang cewek itu miliki hingga detik ini.

"Aku nggak akan fokus sekolah Kak kalau dalam keadaan gini," ujarnya prihatin sembari menatap taman rumah sakit yang sudah terbilang sepi.

"Maaf," kata Geryl lugas. "Semua masalah kamu karna Genta. Dan sumbernya dari Kakak yang nggak bisa jaga Genta dengan becus, Nes."

Agnes menghapus air mata yang sempat meluncur. Jika ia diingatkan terus perihal masa lalu itu, sama saja terus menyiram lukanya dengan air garam. Perih dan sukar kering.

"Lupain aja, Kak. Aku nggak mau inget lagi." Lantas Agnes menundukkan pandangannya serta mecengkram erat kedua tangannya untuk menahan tangisan. "Genta juga nggak mungkin bangun lagi untuk memperbaiki semuanya."

Geryl berpaling pada cewek yang saat ini terlihat begitu lemah. Wajah tembok dan sikapnya yang tak pernah lagi acuh, kini semuanya sudah lebur. Tergantikan oleh sosok sebenarnya. Sosok yang ternyata begitu lemah dan ringkih tuk menanggung luka.

Pria itu tetap terdiam. Ia merasa tak pantas untuk menyentuh cewek itu lagi. Semenjak kejadian dua tahun lalu, ia memutuskan untuk membentangkan jurang di antara mereka. Itu sudah cukup untuk menyadarkan dirinya kalau tak ada kata pantas untuknya di samping Agnes.

"Apa kamu menyesal menolong Genta waktu itu?"

Geryl bertanya setelah beberapa menit berselang. Cewek itu mendongakkan kembali kepalanya. Bersama sesak yang berkecamuk di dalam dadanya, Agnes mencoba menjawab, "Jujur, aku nyesel kalo ternyata malah adik aku yang jadi korbannya, Kak." Air mata itu meluncur dan secepat itu juga ia seka. "Tapi, kalo aku biarkan, aku malah ngerasa jadi manusia jahat karna membuat Genta sampai tertangkap."

"Bukannya itu lebih baik, Nes? Mengorbankan Genta daripada adik kamu sendiri?"

Cewek itu menarik napasnya dalam. Menenangkan berbagai macam emosinya yang menggelegak. "Itulah kenapa aku nggak mau nolong orang lagi, Kak. Aku nggak mau ngerasain lagi gimana rasanya memilih untuk menolong. Antara keluarga dan sahabat. Semuanya sama-sama penting buatku."

Geryl terdiam dan Agnes kembali melanjutkan, "Aku nggak mau dampakku menolong harus berefek negatif padaku dan orang lain, Kak."

Pria itu kembali tertegun. Agnes sudah menjalankan hidupnya berlandaskan pengalaman buruk dan mengambil kesimpulan yang salah. Gadis yang sejatinya tak pernah sedikitpun tak acuh pada orang lain, sekarang harus berotasi menjadi manusia tak berhati. Geryl menyayangkannya.

Padahal, dulu cewek itu menolong adiknya yang notabene sang pecandu narkoba. Namun, sekarang kata membantu menjadi hal paling berdosa di dalam hidup Agnes. Kenapa sebuah pengalaman harus berdampak buruk pada pemikiran seseorang?

"Apa harusnya aku diciptakan menjadi manusia nggak punya hati ya, Kak?" tanya Agnes miris. Ia meremas kedua jemarinya. Menahan air mata yang terus mendobrak pertahanannya. Ia tidak ingin menangis lagi untuk menunjukkan kelemahannya.

"Bukan kamu yang salah, Nes. Bukan masalah menolong bencana itu datang."

Agnes bergeming, tak menjawab. Dirinya masih menunduk menatap jemarinya yang sudah dibasahi peluh dari telapak tangannya. Angin senantiasa membelai wajahnya. Membawa melayang anak-anak rambut Agnes yang tidak ikut terikat.

Gibran itu... [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang