Bab 17

714 41 0
                                    

Bersama jaket parka merah favoritnya, Agnes membuka pintu kamarnya. Semenjak pulang sekolah, baru sekarang Agnes ke luar kamar. Dan melupakan makan siangnya.

Memang sudah tipikal Agnes yang tidak bisa menunda banyak hal. Mengingat cewek itu tidak punya aktivitas lain kecuali belajar. Belum lagi Agnes yang memang tidak bisa memotong-motong tugas. Jadinya baru jam tujuh, Agnes dapat rehat.

Akses kamar tidurnya langsung dapat melihat keadaan ruang makan dan ruang tamu yang bersebelahan. Hingga baru selangkah dari depan kamarnya, Agnes tertegun di tempat.

Biasanya jam segini, bukan kesenyapan yang mengatapi rumahnya. Kalau jam tujuh malam seperti sekarang, alias seusai makan malam, ruang tamu akan ramai.

Bapak yang begitu fokus mononton berita politik dan giliran Agnes dan adiknya --Dendi yang membuat kacau. Kemudian ibu yang mengingatkan mereka untuk diam.

Namanya anak-anak, susah dibilangin. Entah Dendi yang memulai, atau Agnes yang memancing duluan. Mereka berdua kerap kali saling kejar-kejaran sambil melemparkan camilan yang harusnya dilahap. Dan berakhir dengan bapak yang memeluk keduanya di sisi kiri dan kanannya, tak lupa tawa yang berderai menggema di ruang tamu yang tidak terlalu luas itu.

Masih jelas di ingatan, Agnes menyukai kebiasaan itu. Tidak pernah bosan, karena bapaknya yang memang jarang pulang ke rumah. Sehingga momentum seperti itu, selalu Agnes tunggu.

Suara tawa satu keluarga, masih terlekat rapat di otak. Itulah dimana Agnes dapat tertawa bebas tanpa mengingat beratnya tugas sekolah. Yang ada hanya kehangatan keluarga yang selalu bisa membuat Agnes damai dan terlindungi.

Tapi sekarang, ruang tamu itu sepi, dingin, tak tersentuh.

Debu di televisi kian hari kian menebal karena jarang digunakan. Suhu hangat yang diciptakan dulu, sekarang hanya suhu dingin yang menusuk tulang. Suara gemaan tawa, sekarang hanya didominasi suara jangkrik dan angin mendesau, seolah mengolok-olok kondisi yang mustahil kembali lagi.

Agnes menatap miris kedua ruang itu. Waktu sudah merenggut semuanya tanpa bersisa, tanpa Agnes sadari. Semuanya telah berjalan sesuai ego masing-masing. Membuat Agnes merasa asing di rumahnya sendiri. Keluarga, tapi tidak ada interaksi di dalamnya. Menyedihkan.

Agnes mulai melangkahkan kakinya. Mencari udara segar atau sekadar sepiring nasi goreng di pedagang jalanan, mungkin bisa menyegarkan pikirannya. Istirahat sejenak dari realitas dunia yang mulai membatasi ruang geraknya.

"Lo mau kemana?" Agnes menoleh pada seseorang yang berjalan di sampingnya. Entah kapan cowok itu datang, Agnes sama sekali tidak menyadarinya. Di tengah pencahayaan lampu jalan, Agnes bisa mengenali wajah cowok itu.

"Elo ngapain di sini?" Agnes mengernyit ketika angin berembus dan membawa bau menyengat yang selalu ia hindari. "Elo ngerokok?" tukas Agnes membuat keduanya berhenti.

Devin yang dituduh seperti itu, langsung menciumi jaketnya. Kemudian nyengir menunjukkan behel rapi di kedua baris giginya. "Gue lupa pake parfum."

"Yaudah jauh-jauh dari gue." Agnes lantas mendahului Devin. Ia tidak suka bau rokok. Itu sama saja mengingatkannya pada penyesalan itu.

"Elo mau nyari makan?" Suara berat itu mengganggu lagi. Agnes menengok dan sekarang bau maskulin cowok khas dari merek parfum terkenal, menyeruak ke dalam hidungnya. Mengganti bau menyengat asap yang dibencinya beberapa saat tadi.

"Lo ngapain disini?" tanya Agnes tidak suka.

"Gue juga lagi nyari makan," jawab cowok itu sambil memulai menancapkan permen milkita ke dalam mulutnya.

"Kenapa di sini? Jauh-jauh dari gue." Agnes menciptakan jarak, Devin malah mendekat membuat Agnes mendengus geram.

"Gue bilang--"

Gibran itu... [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang