Epilog

1.8K 50 20
                                    

Setahun kemudian.

Cewek itu tak henti-hentinya bersungut-sungut. Ia tidak bosan mencebikkan mulutnya kesal karena keinginannya untuk membeli es krim tidak dikabulkan. Ah, bahkan cowok itu sepertinya sengaja untuk menulikan telinganya agar tidak mendengar keluhan cewek itu dari setengah jam yang lalu.

"Aku males sama kamu," ucapnya seraya mengentak-entakkan kaki dan berbalik memunggungi cowok itu.

Bukannya merasa bersalah, cowok itu malah terkekeh geli melihat cewek yang saat ini merajuk karena ulahnya.

"Bukannya aku ngelarang ini itu, aku cuma nggak mau kamu flu kayak minggu kemarin."

Cowok itu mencoba berhadapan dengan pacarnya tersebut. Tapi, cewek itu seolah sudah terlatih untuk menahan senyumannya karena kegigihan cowok yang sudah satu tahun ini menjadi kekasihnya.

"Kamu berlebihan, Gibran. Aku cuma beli satu aja kok! Bukannya sepuluh."

Akhirnya cewek itu mau menatapnya kembali. Gibran memegang kedua pundak cewek tersebut gemas. "Sama aja. Mending kita makan di rumah aku aja. Gimana?"

Cewek itu bergeming. Berpura-pura berpikir dan berat untuk memutuskan. "Aku tau kamu mau, Elsyana Abimanyu."

Kalau Gibran sudah memanggil nama panjangnya itu, Elsa tidak kuasa tersenyum sampai menunjukkan dua baris giginya. Cowok itu selalu saja tahu tentang kelemahannya.

"Asal besok aku udah boleh makan es krim, ya?"

"Nggak, tapi lusa."

"Gibran," rajuk Elsa seperti anak kecil. Gibran langsung menatap cewek itu tajam.

"Lusa atau nggak sama sekali?"

Elsa menarik napasnya dalam, "Oke," jawabnya dan membuat Gibran merangkul cewek tersebut dan membawanya pergi menuju tempat parkir kafe.

Dari sebrang jalan, seorang cewek memandang kedua pasang tersebut dengan tatapan nanar dan senyuman hambar. Satu tahun berlalu dan semuanya telah berubah dengan jomplangnya. Tapi, kenapa perasaannya kian menjeratnya semakin kuat?

Gibran? Orang-orang kagum atas kesempurnaan yang dimiliki cowok itu. Ramah, jenius dan tidak tegaan. Seperti tidak ada celah sama sekali yang dimiliki cowok tersebut. Namun, itu baru kesimpulan orang-orang yang terlalu cepat beropini dari sisi luarnya saja.

Tapi, jika dianalisa kembali, Gibran bukanlah sosok yang bisa dikatakan makhluk sempurna. Nyatanya, Gibran adalah seorang manusia biasa yang memiliki perasaan dan akal. Namun, cowok tersebut selalu gagal dalam menerka peristiwa yang dilihatnya. Cowok itu juga sering salah dalam menerjemahkan perasaan seseorang. Gibran pun terlalu lemah dalam penggunaan perasaannya. Hingga ia tak mampu menolak kesedihan orang-orang yang terkadang hanya sebuah ilusi di mata.

Gibran pula bukan orang yang tegas dalam memutuskan sesuatu. Gibran hanya manusia yang takut sakit hati. Gibran tidak punya keberanian untuk menyakiti dan disakiti. Intinya, Gibran itu... cowok yang mempunyai celah dimana-mana. Dan kata sempurna tidak akan pernah tersematkan pada manusia mana pun.

"Agnes, mau ke mana lagi? Jakarta teh panas," ujar seorang cowok berlogat Sunda membuat Agnes refleks menoleh.

"Lo tuh cowok, jangan ngeluh-geluh gitu. Nggak pantes."

Cowok yang sedang menggendong ransel itu memberengut. Merasa harga dirinya seketika rendah di hadapan Agnes.

"Rumah kamu dimana?"

"Jalan-jalan dulu yuk?"

"Pulang, trus simpen tas," putus cowok itu membuat Agnes menurut. Benar jugas sih daripada keliling Jakarta dengan tas besar, bisa-bisa Agnes langsung tepar di jalan. Sepasang cewek-cowok itu pun lekas kembali menyusuri trotoar.

Gibran itu... [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang