Bab 23

624 40 1
                                    

Agnes memandang sarkastik pemandangan di depannya dengan bibir yang ditahan untuk bergetar. Seraya duduk bersimpuh dan menggenggam rerumutan di permukaan makam tersebut.

Tersebut, Genta Pratama di pusaran tersebut. Bukannya rasa duka yang menjalar di dadanya, Agnes justru merasakan amarah yang belum ia lampiaskan.

"Elo puas?" tanya Agnes bermonolog seraya menahan emosi yang semakin mendesak dadanya. "Gue menderita kayak gini apa lo bahagia di sana, Gen?"

Suara Agnes semakin menyedihkan. Sarat akan keputusasaan dan tak ada harapan.

Kenapa orang yang dibencinya begitu mudah meninggalkan dunia ketika Agnes belum sempat membalaskan perbuatan orang itu? Rasanya Agnes ingin menghidupkan orang yang sekarang terbujur kaku atau bahkan sudah tinggal tulang-belulang itu. Membalaskan kesakitan dan penyesalan yang teramat hebat. Namun, hal itu adalah hal yang sangat mustahil. Mau tak mau, Agnes harus menahan deritanya seorang diri.

"Kenapa lo gak bawa gue mati, Gen?" Agnes berusaha menahan tangisnya. Tidak ingin mendemonstrasikan bahwa dirinya sedang pilu.

Cuaca di pemakaman sore hari terlalu terlihat untuk sekadar mencela luka Agnes. Burung kenari berkicauan serta cuaca yang begitu cerah. Benar-benar berkontradiksi dengan apa yang Agnes rasakan.

"Harusnya gue yang mati," desis Agnes sarat emosi yang tertahan. Sayangnya mayat itu tidak bisa hidup. Jiwanya sudah pergi bersama raga yang telah melebur menjadi satu bersama tanah. Dan giliran Agnes yang hanya bisa meratapi nasibnya yang kian memburuk.

"Dia gak akan dengerin lo."

Seketika itu juga, Agnes cepat-cepat menghapus luncuran air matanya. Ia mendongak menatap sosok jangkung yang selama ini mengganggunya tengah mengulum permen di depannya.

"Lo ngapain di sini?"

Devin sempat tertegun melihat raut wajah Agnes yang begitu menyedihkan. Serta-merta ia mengubah ekspresi wajahnya dengan ketidakacuhan yang ia punya. Meski sebenarnya, Devin penasaran akan kisah hidup Agnes yang tak tersentuh itu.

"Gue lagi bareng tante gue tuh," tunjuk Devin oleh dagunya. Mengarah pada seorang wanita dewasa yang menatap rindu nisan tak hidup itu. "Tante gue ditinggal suaminya. Jadi, dia ziarah ke sini."

"Dan lo di sini ngapain?" tanya Devin kemudian. Membuat Agnes sedikit gelagapan. Sangsi untuk mencari jawaban yang cocok tanpa menunjukkan lukanya.

"Terserah. Ini tempat umum."

Devin berdecih. Mendengar Agnes mengcopy ucapannya tempo hari.

"Plagiat omongan orang aja lo."

"Gue pergi."

Agnes beranjak tanpa menggubris kelakar Devin. Menurutnya, tidak ada lagi hal yang mesti ditertawakan lagi di dunia. Justru cewek itu merasa sangat berdosa jika ia sampai tertawa bahagia sedangkan lukanya masih belum sembuh sempurna. Untuk apa merasakan bahagia yang bersifat sementara tapi lukanya masih menganga lebar? Seolah tawanya itu merupakan sebuah olokkan pada kisahnya yang sangat menyakitkan itu.

"Kok lo apa-apa langsung pergi?" tanya Devin tak suka membuat Agnes berbalik. "Harusnya lo sebagai temen sekol-"

"Gue bukan temen lo," sela Agnes membuat Devin mengangguk pasrah.

"Iya, maksudnya sebagai orang yang satu sekolah sama gue, lo harusnya bersikap ramah dan baik pada penghuni baru. Bukannya judes-judes kayak gitu."

"Mau lo apa?" tanya Agnes tanpa sudi mencerna ucapan arif dari Devin yang emang nggak ada bobotnya sama sekali itu.

"Lo harus baik sama gue, intinya."

Gibran itu... [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang