Tena menghindar.
Itu yang Mira rasakan sekarang. Semenjak kepergian Tena dari mesjid, Mira mengikutinya. Mira kerap memanggil nama cowok itu, dan tetap tidak ada gubrisan. Dan Mira tahu, Tena marah padanya.
"Tena!" panggil Mira begitu keras hingga orang-orang yang melintasinya menyorot cewek itu. Mira terlihat begitu putus asa. Bulir keringat berjejer di dahi cewek beriris hitam itu.
Tena berhenti dari pelariannya. Orang-orang juga memerhatikan dirinya dengan raut wajah bingung. Tena tidak suka menjadi pusat perhatian apalagi yang akan membuat namanya semakin buruk di mata orang-orang.
Faktanya, Tena tidak menyukai hubungan tidak sehat ini bersama Mira. Satu hari tidak ke sekolah dan tidak melihat wajah Mira, sukses membuat Tena kalang kabut karena rindu. Inginnya Tena menghampiri Mira dan melupakan semua kesesakkan itu. Tapi, Tena gengsi. Tena nggak mau terus menyentuh lukanya yang masih perih setiap melihat Mira.
Intinya, Tena sedang dilematis. Menahan rindu ataukah menahan luka. Keduanya sama-sama menyakitkan bagi Tena.
"Please, jangan pergi, Ten." Mira memelas dan berhasil mengguncang nurani Tena. Ada rasa ingin memeluk dan berkata bahwa semua ini terjadi karena keegoisan Tena. Dan sekali lagi, Tena gengsi.
Tena berbalik. Ia hampir saja menarik Mira dan membawanya ke dalam dekapan ketika melihat air mata merembes di kedua pipi cewek itu. Tena nggak tega melihat penderitaan di dalam mata Mira.
Waktu seperti berhenti berdetik untuk beberapa saat. Hingga membuat Tena hanya bisa terpaku pada bumi. Tidak ada pergerakkan. Membiarkan waktu berjalan kembali kecuali bagi diri Tena.
"Maafin gue, Ten. Gue gak tahu gue salah apa." Beberapa saat jeda sejenak dan Mira menghela napasnya panjang. "Jadi, gue mohon. Kita bicarain baik-baik ya."
Untuk beberapa detik, Tena merasa kosong. Tidak ada sekelebat pikiran kecuali keberadaan cewek itu. Mira tidak salah. Dirinya saja yang terlalu banyak berharap. Kalau saja Tena membentengi diri dari awal, Tena tidak akan sesakit ini dan menjauhi Mira.
"Gak ada yang harus dimaafin," ucap Tena berusaha dingin di depan Mira.
Cewek itu terisak. Pipinya basah dan kesedihan tersurat jelas di wajahnya.
Mira nggak suka Tena yang sekarang. Mira lebih suka Tena yang blak-blakkan menyampaikan undek-undeknya. Bukan begini, berkata seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal orang buta sekalipun tahu, kalau hubungan Tena dan Mira tidak ada kata baik.
"Trus kenapa lo ngehindar, Ten?" Mira menghapus air matanya. "Kalo gapapa, kenapa lo gak mau ngomong lagi sama gue?"
Tena terdiam sejenak. Semuanya ada jawabannya. Tapi bibir Tena seperti terlem super kuat untuk tidak mengatakan alasan sebenarnya. Tena juga tidak mau seperti ini. Sekaligus Tena juga tidak mau jujur dalam waktu bersamaan.
"Gak semua bisa gue bilang sama lo," ucap Tena memulai. "Dan gue pikir, kita lebih baik menjauh dulu."
Mira terpecut realita. Mira mau kebenaran, tapi bukan ini yang Mira inginkan. Mira maunya semua kembali baik-baik saja. Bukan menjadi lebih pelik dan menyelesaikannya dengan cara ini. Mira nggak mau.
"Tapi Ten--"
"CUKUP!" Suara Tena menggelegar. Sukses membuat Mira dan orang-orang yang menontonnya menahan napas.
Cowok kalem dan alim itu, sekarang menunjukkan sisi lainnya. Membuat Mira semakin ingin bunuh diri di tempat. Mira tahu, dialah yang menyebabkan Tena seperti sekarang.
"Gue rasa, ucapan tadi udah cukup jelas, Mir."
Tena beranjak dan Mira terduduk lemas di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran itu... [COMPLETED]
Teen FictionBerawal dari ikrar sepihak, membuat hubungan Agnes dan Gibran kandas. Gibran yang masih menyayangi Agnes, kalang kabut dibuatnya. Lantaran hubungan keduanya terbilang baik-baik saja. Tidak ada konflik besar yang mendukung mereka untuk putus. Tapi...