Ruangan auditorium di salah satu sudut kota, sekarang tampak penuh dan sesak. Orang-orang yang datang sebagai peserta dan penonton mulai memadati gedung luas tersebut.
Berbagai macam kesibukkan mulai kentara. Dari yang sibuk menelepon seseorang sampai kecemasan peserta yang lupa membawa kostum untuk tampil hari ini.
Di tengah keramaian itu, peserta dari SMA Perjuangan sedang asyik bersama zonanya sendiri. Tidak terpengaruh pada kebisingan orang-orang. Mereka terlalu larut pada ketegangan dan ketakutan jika nanti tidak bisa tampil maksimal. Tapi, Mas Ret yang termasuk di dalamnya, mencoba menenangkan anak didiknya.
Inilah saatnya. Momen yang mereka tunggu-tunggu selama dua bulan latihan. Itu waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan sebuah karya yang luar biasa untuk dipuji orang-orang. Kesiapan kostum dan property sudah lengkap. Karena ketegasan Mas Ret agar anggotanya itu disiplin.
Hingga acara dimulai dengan dibukanya oleh seorang MC. Semua peserta berkumpul di belakang panggung. Setiap sekolah harus mengirimkan maksimal dua puluh orang. Dan yang menadaftar pada lomba ini adalah sekitar dua puluh lima sekolah.
Anggota teater SMA Perjuangan pun mulai diselimuti ketakutan. Banyak sekolah saingan yang menjadi musuh bebuyutannya di beberapa kali perlombaan. Membuat rasa pesimis itu muncul. Apalagi dengan datangnya sosok baru, yaitu Gibran. Karena cowok itu baru pertama kali lomba dan mereka takut jika cowok itu tiba-tiba mengacaukannya.
"Jangan sampai lo ngacauin semua perjuangan kita." Gibran mendongak mendengar ucapan dingin dari seseorang. Cowok itu berdiri dan melihat Evan heran.
"Maksud lo apa?"
Evan mengangkat salah satu ujung bibirnya. "Lo anak baru. Jadi, jangan sampe lo buat kacau di panggung."
"Lo—"
"Van?" Suara seorang cewek otomatis menghentikan percakapan mereka. Evan mendengus dan berlalu tanpa menanggapi kedatangan Elsa yang merusak suasana.
"Evan ngomong apa sama lo?"
Gibran menoleh dan duduk kembali. "Biasa. Urusan cowok."
Elsa tersenyum, lalu melemparkan bokongnya di samping Gibran. "Lo seneng?"
Cowok itu mengernyit bingung. "Seneng kenapa?"
Elsa menahan senyumnya lebih lebar lagi. Hari yang ia tunggu telah tiba. Kendati setiap pulang sekolah Gibran selalu di dekatnya dan berakting di atas panggung yang sama, tapi hari ini berbeda. Banyak pasang mata yang akan melihat kelihaian keduanya. Dan ada beberapa lagi yang melengkapi kebahagiaan Elsa.
Gibran ada di sini.
Melihatnya berakting. Berdiri di atas panggung. Berdua. Sebagai sepasang kekasih.
"Gue seneng, kita akhirnya bisa sampai di sini. Gue nggak percaya. Gue kira lo atau gue berhenti di tengah-tengah."
Gibran mengulum senyum lantas mengacak-ngacak rambut Elsa sebentar. "Gue nggak mungkin kecewain elo."
Sekonyong-konyong, Gibran teringat sesuatu. Biasanya kalau lagi menunggu seperti ini, dirinya memainkan ponsel. Tapi, semenjak ia mengambilnya dari nakas, cowok itu belum lagi menyentuh benda persegi panjang tersebut.
Gibran meraba saku jeansnya. "Ohiya di tas," gumamnya lantas berdiri. Elsa menahan, "Lo mau kemana?"
"Mau ngambil hp, Sa."
Sejurus kemudian, Elsa terperangah. "Jangan main hp dulu, Gib."
Gibran mengernyit, Elsa berdiri berhadapan dengan Gibran. "Kita tampil jam sebelas. Nanti lo malah keasyikan lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran itu... [COMPLETED]
Teen FictionBerawal dari ikrar sepihak, membuat hubungan Agnes dan Gibran kandas. Gibran yang masih menyayangi Agnes, kalang kabut dibuatnya. Lantaran hubungan keduanya terbilang baik-baik saja. Tidak ada konflik besar yang mendukung mereka untuk putus. Tapi...