“Elo pulang aja.”
Agnes berjengit mendengar suara itu tepat di dekat telinganya. Devin seketika terkekeh melihat wajah terkejut Agnes seperti itu.
“Biasa aja kali muka lo,” ucap Devin sambil membuka kacang kulit dan sampahnya ia simpan di atas meja. Agnes mendengus dan melemparkan punggungnya ke sandaran sofa. Sembari menatap acara televisi yang Devin tonton sekarang.
“Gue males.”
Devin menoleh sekilas. Padahal tadi ia melihat ratusan pesan yang sampai di ponsel Agnes. Maklum, hasil bakatnya mengintip. Jadi, dia tahu keresahan orangtua dari Agnes tadi. Namun, tak ada satu pesan pun yang Agnes baca apalagi membalasnya. Seolah pesan tersebut hanya pesan dari operator yang memberitahukan adanya paket promo kuota. Yang diskonnya nggak gede-gede banget. Oke, itu nggak penting. Pakai banget.
“Itu orangtua elo, Nes,” ujar Devin sambil memasukkan kacang ke mulutnya. “Apalagi lo harus sekolah. Apa lo mau ranking lo kalah sama gue?”
“Gue bisa tetep pinter tanpa belajar.”
Devin berdecih. Bisa-bisanya cewek cuek kayak Agnes besar kepala seperti tadi. Tadinya Devin mau mencela. Kalau ia tidak ingat Agnes itu tipikal cewek yang nggak mau kalah. Alias keras kepala. Memangnya dunia terus berputar di cewek itu?
Hellooo, ini dunia milik Tuhan keleus.
“Sekolah itu, bukan masalah lo pinter atau nggak. Tapi, di sana juga belajar gimana lo berinteraksi sama manusia yang nggak sempurna selain elo,” tutur Devin penuh penekanan. Niatnya ingin menyindir sisi gengsinya Agnes yang setinggi langit itu.
“Gue gak butuh manusia lain.”
“Gue bukan manusia dong.”
Agnes menoleh dengan tatapan tanya.“Soalnya kan lo butuh gue buat tinggal di sini.”
Agnes kalah telak. Devin selalu bisa memutar balikkan ucapannya. Meski terkadang cowok itu kalah juga, tapi Agnes sebenarnya selalu saja kalah jika beragumentasi dengan Devin. Cuma Agnes terlalu jago untuk berusaha kalau kemenangan ada di pihaknya.
“Lo ngusir gue?” tanya Agnes mengalihkan pembicaraan.
Devin menghela napasnya. Kalau boleh jujur dan dunia sudah menjadi miliknya sendiri, Devin akan membiarkan Agnes tetap berada di rumahnya. Hmm… maksudnya di rumah tantenya. Tapi, Devin bukan pemilik penuh kehidupan. Devin bukan siapa-siapa Agnes yang bisa mengatur bagaimana hidup Agnes. Devin cuma orang lewat yang kebetulan sedang dibutuhkan Agnes. Itu saja. Tidak lebih. Tapi, bisa kurang. Maksudnya, Devin bisa jadi orang yang mudah dilupakan oleh Agnes.
“Kalo gue jawab iya, apa lo mau pulang?”
Agnes terdiam sejenak. Devin tidak serius jika ia mengusirnya. Setengah hati, Agnes menyadari kalau saran Devin ada benarnya. Lebih baik ia pulang. Apa mau dikatakan tante Devin jika ia harus berlama-lama di rumahnya? Meski baru satu hari, tetap saja menambah beban orang lain.
Apalagi secara tidak langsung, Agnes telah meminta tolong pada orang lain. Cewek itu menyadari kalau dirinya sudah bergantung pada orang lain. Jadi, tidak ada alasan lain lagi untuk menumpang di kehidupan Devin. Agnes cukup tahu diri. Ia tidak pantas dibantu, jika perilakunya pada Devin dibilang tak pernah baik.
“Yaudah gue balik.”
Agnes beranjak. Setengah kecewa Devin rasakan karena Agnes mengiyakan sarannya. Kalau boleh, Devin ingin menarik kata-katanya. Tapi, Devin tidak boleh egois. Agnes punya masalah yang harus diselesaikan. Agnes punya kehidupan yang tidak ada Devin di dalamnya. Jadi, Devin harus mengulur Agnes dulu. Meski hatinya merasa tidak rela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran itu... [COMPLETED]
Teen FictionBerawal dari ikrar sepihak, membuat hubungan Agnes dan Gibran kandas. Gibran yang masih menyayangi Agnes, kalang kabut dibuatnya. Lantaran hubungan keduanya terbilang baik-baik saja. Tidak ada konflik besar yang mendukung mereka untuk putus. Tapi...