Bab 29

595 43 8
                                    

Cewek itu baru saja menghapus air mata yang bisa jadi menjadi tetesan terakhir hari ini. Setelah merasa dirinya tenang, Agnes beranjak. Menepuk-nepuk rok belakangnya karena habis duduk di atas tanah. Ia menghirup napas berkali-kali. Menenangkan hati dan pikirannya.

Kendati sesaknya masih saja terasa, ia tidak ingin terlalu berlarut-larut dalam drama romantismenya. Masih ada permasalahan pelik yang harus ia selesaikan. Gibran bukanlah segalanya. Meski cowok itu sudah menguasai seluruh ruang di hati Agnes. Lantaran cowok itu hanya punya tempat istimewa. Bukan tempat buruk di hidup Agnes.

Baru berbalik, ponselnya terasa bergetar di saku seragam. Lantas ia merogoh sakunya dan mengambil benda persegi itu.

Ibu

Id caller itu tertera jelas di layarnya. Jempol kanan Agnes sudah hendak bergerak untuk mematikan telepon itu. Toh, ia juga akan pulang. Tapi, entah kenapa ada firasat lain sewaktu panggilan ibunya yang jarang sekali menghubunginya tiba di ponselnya kali ini. Maka Agnes dengan berat hati menjawab telepon sang ibu.

"Apa, Bu?"

Tak ada sapaan balik. Yang ada hanya suara isakkan yang sangat familier di telinga Agnes.

"Ibu kenapa?"

Agnes mendadak panik. Seluruh pikiran kalut sebelumnya sudah menguap. Tergantikan oleh rasa takut mendengar sang ibu menangis di ujung panggilan.

"Dendi, Nak,"

"Dendi kenapa, Bu?"

"Kamu cepat datang ke rumah sakit. Cepat ya, Nak."

Agnes cepat-cepat mematikan sambungan dari ibunya dan berlari dari danau. Mengejar waktu untuk sampai ke tempat yang ibu beritahukan. Cewek itu sudah tidak bisa berpikir jernih lagi. Lukanya, masalahnya dan semua prinsip yang pegang kuat terhapus oleh tangisan Ibu yang terdengar sangat menderita.

Kenapa pada Dendi?

Apa yang terjadi pada adiknya itu?

Kendati hubungannya tak akur, Dendi tetaplah saudara kandungnya. Mereka berdua sama-sama lahir dari rahim yang sama. Maka dari itu, tidak ada alasan untuk Agnes untuk tidak acuh.

Walau Dendi selalu tak menganggap kehadirannya, Agnes tetap peduli. Ikatan kakak pada adik tak bisa diputus begitu saja oleh kepelikan masalah atau rasa benci yang mendarah daging. Adik tetaplah adik. Dan Agnes tetap menyayangi adiknya itu meski semua masalah hidupnya bersumber dari adiknya sendiri.

**

Agnes berlari kesetanan. Ia mencari nama ruangan yang ibunya sampaikan dalam sebuah pesan. Cewek itu sudah tidak lagi memerhatikan tata krama. Kendati harus mendapat gerutuan orang-orang, cewek itu tidak mengindahkannya. Yang terpenting sekarang, ada apa dengan keadaan Dendi? Apa yang terjadi pada adiknya itu hingga membuat ibu menangis terisak seperti di telepon tadi?

"Ibu," panggil Agnes membuat wanita paruh baya yang sedang terduduk menoleh. Lantas ia menghampiri Agnes dan memeluknya erat.

"Dendi, Nak," sahut ibunya serak. Agnes melulurkan tembok bajanya. Ia empati pada keadaan ibu yang belum dipahami oleh Agnes. Cewek itu mengusap pelan punggung sang ibu.

"Dendi kenapa, Bu?"

Ibu mengurai pelukannya. Ia menatap Agnes dengan mata sembab.

"Den-di, menderita kanker paru-paru, Nak."

Detik itu juga dunia Agnes hancur. Puing-puingnya tenggelam bersama luka yang sudah berkubang duluan dalam hatinya. Otaknya buntu. Hatinya mati rasa. Waktu terasa berhenti untuk berdetik.

Gibran itu... [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang