Bersama seragam putih abu yang masih melekat dengan tubuhnya, Agnes masuk ke dalam rumah. Tidak lagi acuh pada eksistensi mobil pick up yang sekarang masih terpakir di depan. Mungkin dengan berusaha tidak peduli, Agnes akan merasa pria itu tidak di rumah. Dengan begitu, ia dapat nyaman di kamarnya.
Tapi, takdir berkata lain. Menuju kamar, Agnes harus berpapasan dengan pria itu yang baru ke luar dari kamar di sebrang kamar Agnes. Merasa tak ada sapaan, Agnes melengos. Namun, sebuah tangan besar mencekal pergelangannya yang kecil. Agnes meringis merasakan pergelangan tangannya yang hampir remuk.
"Sakit," desis Agnes berusaha melepaskan cekalan pria itu. Sejurus kemudian, tangannya dihempaskan kasar. Bapak berhadapan dengan Agnes bersama tatapan tajamnya.
"Darimana kamu?!" Suara Bapak menggelegar. Jantung Agnes semakin berdentam keras. Hari belum larut. Tapi, Bapak tampak sangat murka. Biasanya kan pria itu sama sekali tidak peduli.
Agnes berusaha tidak acuh pada tangannya yang terasa hampir mati rasa."Ag--"
"Kamu ngerokok?!" Agnes menghentikan napasnya sejenak. Suara Bapak menggema seantero ruangan. Ibu datang tergopoh-gopoh berusaha menahan sesuatu yang buruk datang.
Tapi, kedatangannya terlambat.
Satu tamparan lolos mengenai pipi kanan Agnes. Panas serta nyeri menjalar di pipinya. Dan rasanya kalah sakit dibandingkan hatinya yang saat ini sudah hancur lebur. Air mata bergumul di kelopak Agnes. Kekerasan fisik kedua yang ia rasakan dalam waktu bersamaan dan orang yang sama.
"Agnes gak ngerokok." Agnes menahan amarah yang membuncah. Ibu menenangkan Bapak yang saat ini napasnya naik turun dikarenakan emosi.
"Kenapa kamu bau rokok?!" timpal Bapak dengan suara yang masih terbilang menyeramkan. "Bapak gak bodoh!" sambungnya tak kalah keras.
Agnes terisak. Orangtua macam apa yang menuduh anaknya melakukan hal yang buruk?
Apa ia tidak bercermin? Siapa yang membuat Agnes semenyedihkan sekarang? Apa Agnes sendiri?
Tidak! Tapi pria itu! Pria yang masih menyebut dirinya Bapak, padahal sudah melakukan kekerasan secara fisik dan psikis yang membuat anaknya traumatis.
Pria yang sudah kehilangan gelar Bapak sejak dua tahun lalu.
"Bapak harusnya tanya! Agnes bau karna temen Agnes yang ngerokok! Bukan Agnes! Kenapa Bapak gak percaya hah?!" Dada Agnes menciptakan ritme cepat. Berteriak di depan orangtuanya sendiri, tidak pernah Agnes pikirkan sebelumnya. Tapi, keadaan memaksanya dan Agnes tidak menyesalinya.
Berkomunikasi secara baik-baik bukanlah pilihan terbaik untuk saat ini.
Ibu kelimpungan. Ia tidak bisa apa-apa memperbaiki hubungan Bapak dan anak itu yang semakin tidak damai. Apa dosanya di masa lalu hingga punya keluarga sekacau ini?
"Keluar!" Agnes tertohok mendengar usiran Bapaknya. "Tidur sekarang di luar!"
Agnes terdiam. Meresapi kata-kata Bapaknya yang ia pikir hanya sebuah ilusi. Nyatanya, sakit pada ulu hatinya sudah membuktikan segalanya.
Agnes diusir.
Bapak membenci Agnes.
Ibu berusaha membujuk suaminya untuk mengurungkan niatnya. Tapi, Bapak pergi. Agnes masih memaku di tempat. Merasakan sakit demi sakit yang menyerangnya hari ini.
Apa ia memang tidak pantas untuk bahagia? Kenapa baru saja ia bernapas lega, sakit itu datang?
Beban itu terus-menerus mendesaknya.
Agnes pun akhirnya pergi. Ibu tidak bisa berpihak kemana pun. Ibu membiarkan Agnes beringsut. Jelas dia tidak tega. Membiarkan putri satu-satunya beranjak, Ibu ingin menghalanginya. Tapi, Bapak tidak kenal kompromi. Yang ada, hanya pertengkaran hebat jika Ibu tidak menurutinya. Lagi-lagi Ibu harus egois lagi sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran itu... [COMPLETED]
Teen FictionBerawal dari ikrar sepihak, membuat hubungan Agnes dan Gibran kandas. Gibran yang masih menyayangi Agnes, kalang kabut dibuatnya. Lantaran hubungan keduanya terbilang baik-baik saja. Tidak ada konflik besar yang mendukung mereka untuk putus. Tapi...