Dalam sejarah hidup Tena, ini adalah pertama kalinya Tena nggak sekolah.
Catat!
Hari ini Tena nggak pergi ke sekolah, duduk di antara teman sekelasnya, memerhatikan pengarahan guru serta mendaratkan bokongnya di kantin.
Bahkan sewaktu di sekolah dasar dan Tena menderita cacar, cowok itu tetap masuk kelas. Dan alhasil teman-temannya yang harus absen dengan keterangan sakit lantaran ketularan.
Intinya Tena itu terajin dari yang terajin.
Dan hari ini Tena masih berbaring di atas ranjang sembari kompresan air dingin melekat di dahinya.
"Kamu ngapain aja sih kemarin, Ten? Sampe kayak sakit keras gini," ucap Bunda Tena setelah melihat suhu tubuh Tena dari termometer digital.
"Nggak tau ah, Bun. Tena pusing," keluh Tena sambil menutup matanya. Mencoba meredam sakit kepalanya yang terasa dibebani baja seberat lima ton.
"Bunda aneh aja, Ten. Kamu biasanya nggak pernah nggak masuk. Bisulan di pantat juga kamu bela-belain sekolah," jelas Bunda setengah bergurau.
Tena mendengus kesal mendengar Bundanya masih mengingat kenangan memalukan itu.
"Tena mau tidur, Bunda. Bunda ke luar dulu ya?" usir Tena halus sambil tetap menutup matanya karena tidak kuat menahan pening.
Bunda menghela napas pelan. Ikut prihatin pada anak sulungnya yang mendadak menderita.
"Yaudah kalo perlu apa-apa, panggil Bunda ya," ucap Bunda disusul anggukan lemas dari Tena.
Dirasa Bundanya sudah ke luar kamar, Tena mengesah. Ingatan kemarin terus saja berulang tanpa Tena pinta. Menambah godaman yang terus menghantam kepala Tena.
Tena ingin lupa.
Tena ingin mendadak amnesia.
Tidak peduli kalau dia sampai lupa berbagai rumus logaritma. Iya, logaritma saja. Jangan semuanya. Nanti Tena mati kalau lupa semuanya. Kan berabe harus ngapalin lagi.
Pokoknya Tena mau ingatan kemarin terbawa oleh berlalunya waktu. Ah, tidak. Tena mau mengulang lagi semuanya. Tidak memilih jatuh cinta melainkan tetap diam di tempat. Enggan mengikuti rayuan hati.
Tena mau tetap jadi cowok yang logis dan naif. Tidak tahu-menahu urusan percintaan jika urusannya berakhir seperti ini. Sekali lagi, Tena nggak mau sakit hati.
Bukan apa-apa. Hati yang sakit, jiwa ikutan sakit. Jiwa sakit, raga punya pikiran sendiri untuk ikut sakit. Semuanya benar-benar berkonspirasi untuk melumpuhkan fisik Tena.
Ponsel bergetar. Mengurai kembali ingatan-ingatan yang telah terbentuk dan pasti akan dibentuk lagi dengan sendirinya nanti.
Tena meraba-raba nakas di sampingnya tanpa menoleh, tanpa membuka mata.
"Hallo," sapa Tena setelah merasa ia sudah menggeser tombol jawab.
"Atena! Kemana lo? Tumben-tumbenan sakit! Kayak manusia aja bisa sekarat."
Tena tertawa miris. Karena fisiknya yang terlalu lemah tidak mendukung sama sekali pergerakan berlebihan. Padahal sebenarnya ia ingin menyahuti celaan Gibran yang seenak jidat itu.
"Emang selama ini lo anggap gue apaan?"
"Elo kan kayak Firaun, Ten. Nggak pernah sakit."
"Sialan lo!"
"Asli nih gue takut. Lo sakit apaan sih? Jerawat pecah aja biasanya lo tetep sekolah."
"Cie Gibran khawatir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran itu... [COMPLETED]
Teen FictionBerawal dari ikrar sepihak, membuat hubungan Agnes dan Gibran kandas. Gibran yang masih menyayangi Agnes, kalang kabut dibuatnya. Lantaran hubungan keduanya terbilang baik-baik saja. Tidak ada konflik besar yang mendukung mereka untuk putus. Tapi...