Setelah dua hari menginap di rumah sakit, Agnes kembali ke rumahnya.
Sehabis rekaman hari itu diperdengarkan, Bapak pergi dan belum kembali. Dia membawa mobil pick upnya yang biasa digunakan untuk bekerja. Dan sejak itu, Agnes belum melihatnya kembali.
Rumah, kini benar-benar terasa berbeda. Dingin, sepi dan tak bernyawa. Karena rumah pada umumnya memberikan kesan berbeda tergantung dari penghuninya. Dan Agnes merasakan hal itu sekarang.
Ia lelah. Ia belum tidur benar. Pikirannya selalu menghalanginya untuk tidur pulas. Terkadang ia menangis dan tercenung sendiri setiap malam. Seolah tak ada harapan hidup untuk esok hari.
Suara isakkan menginterupsi cewek itu untuk memutar knop pintu kamarnya. Suara itu berasal dari kamar di belakangnya. Agnes berbalik. Ibu pasti sedang menangis. Entah apa alasannya, Agnes ingin tahu. Karena ibu satu-satunya yang kini menjadi tempat Agnes bersandar. Ibu yang terkadang cuek, tapi bisa terlihat lemah jika ia sudah berada di titik akhir asanya.
Agnes memutar pelan knop pintu itu. Membukanya lebar dan menampakkan ibu yang sedang menyeka air mata yang merembes di kedua pipinya.
"Bu," panggil Agnes membuat wanita itu menengadah kembali.
Kedua mata sayu itu sekarang sembab. Ada perih yang menjadi-jadi ketika Ibu berusaha mengulas senyumnya. Jika ada sakit, kenapa Ibu menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja?
"Ada apa, Sayang?"
Agnes semakin mendekat. "Ibu kenapa?"
Ibu sempat tertegun. Dia bingung apa harus mengatakannya atau tetap menjadi rahasia. Namun, yang ia tahu Agnes bukanlah seseorang yang mudah percaya. Dia gadis yang keras kepala sama seperti suaminya.
"Ibu...."
"Bilang sama Agnes aja, Bu," ucap cewek itu seraya duduk di samping sang ibu. "Agnes nggak akan marah atau sedih."
Cewek itu, untuk pertama kalinya kembali menghapuskan sifat ketusnya. Ia tidak mungkin terus mempertahankan sikap kerasnya di tengah kegentingan masalah keluarganya.
"Adik kamu harus dioperasi, Nak," kata Ibu mulai menceritakan bebannya. Wanita itu menghirup udara sebisa mungkin meski isakkan sempat membuatnya kesulitan. "Dan perlu biaya besar."
Agnes masih menunggu. Ibu memberi jeda sebelum memberikan paparan sesungguhnya. "Ibu nggak ada uang sebanyak itu, Nak."
Ibu kembali menangis dan Agnes merengkuh tubuh ringkih milik Ibu. Ia tidak tega. Hatinya terenyuh. Air mata mulai membanjiri pipi ibu tanpa jeda.
"Tabungan Ibu masih ada?"
"Itu untuk biaya sekolahmu, Nak."
Agnes mengurai pelukannya. Cewek itu menatap dalam ibunya yang sedang menangis tersedu menutup mulutnya.
"Jangan pikirin Agnes dulu, Bu. Dendi sekarang yang lebih utama."
Ibu kembali mendongak. Ia menggeleng mendengar penjelasan Agnes yang mengutamakan adiknya. Karena pendidikannyalah yang utama. Ibu tidak bisa menjamin untuk bisa mengumpulkan uang lagi agar masa depan Agnes terjamin.
"Gapapa, Bu. Agnes berhenti sekolah dulu biar Ibu bisa fokus buat biaya operasi Dendi. Agnes justru ngerasa bersalah kalau adik Agnes sendiri nggak tertolong."
Cewek itu, tidak tahu kenapa bisa sekuat itu untuk mengatakan sebuah kebohongan. Agnes tidak mungkin melepaskan pendidikannya dimana pendidikan itu yang menjamin dirinya di masa depan nanti. Tapi, ia juga tidak mau egois. Ia lebih memilih menghilangkan bayangan masa depan indah itu daripada kehilangan adiknya. Bukankah orang yang kita sayangi lebih berharga dari harta apapun?
KAMU SEDANG MEMBACA
Gibran itu... [COMPLETED]
Teen FictionBerawal dari ikrar sepihak, membuat hubungan Agnes dan Gibran kandas. Gibran yang masih menyayangi Agnes, kalang kabut dibuatnya. Lantaran hubungan keduanya terbilang baik-baik saja. Tidak ada konflik besar yang mendukung mereka untuk putus. Tapi...