Bab 20

732 42 2
                                    

Agnes baru saja naik ke dalam angkot. Lalu, menunggu angkot itu penuh agar bisa langsung beranjak dari terminal.

Untunglah Agnes pergi dari jam enam pagi. Jadi, angkot itu cepat penuh dan Agnes tidak terlambat.

Tidak ada kegiatan aneh. Agnes cuma melihat satu per satu penumpang masuk. Main ponsel, bukanlah kesukaan Agnes. Lagi pula hari ini tidak ada ulangan. Jadi, tidak ada alasan untuk membaca buku pelajaran ketika perjalanan.

"Mau?" Agnes dikejutkan oleh permen Milkita cokelat di depannya. Bukannya diambil, Agnes menoleh untuk melihat orang yang memberi permen tersebut.

Alisnya berkerut. Perasaan tadi Agnes tidak melihat kedatangan Devin. Padahal pintu angkot kan cuma satu.

"Lo ngapain di sini?" tanya Agnes tak menggubris permen di depannya.

"Jawab dulu pertanyaan gue," ujar Devin. "Mau gak?"

Agnes menggeleng. "Gak usah."

Bukannya menyerah, Devin malah membuka bungkusan permen tersebut lantas disodorkan pada Agnes. "Nih! Mending lo ngemut permen daripada liatin orang sinis gitu. Nanti malah jadi salah paham."

Merasa diperhatikan berhubung angkot mulai penuh, Agnes terpaksa mengambilnya. Kini kedua joli itu mempunyai aktivitas sama. Yaitu, mengulum permen.

Maniak Milkita kayak Devin memang nggak tahu tempat dan tentunya nggak tahu umur. Meski maniak pun Devin nggak pelit-pelit amat untuk berbagi. Kecuali kalau permennya tinggal satu, Devin pelitnya na'udzubillah.

"Lo kenapa gak naik motor?" tanya Agnes setelah angkot berjalan sekaligus memecah keheningan.

"Gue gak punya."

"Aneh."

Devin berpaling. "Aneh kenapa?"

Agnes melepas permen loli dari mulutnya. Menatap jalan di depannya yang memang kebetulan posisi duduknya di depan pintu angkot yang terbuka lebar itu.

"Cowok biasanya gengsi kalo gak bawa motor. Apalagi cowok kayak lo."

Devin mengangkat salah satu bibirnya sambil melakukan hal yang dilakukan Agnes: mencabut sebentar milkitanya. "Makanya kalo liat orang tuh jangan penampilannya doang. Liat juga hatinya."

Agnes berdecih. "Gue bukan cenayang yang bisa baca hati orang."

"Gak harus cenayang yang bisa baca hati orang. Tapi dengan lo kenal orang itu, lo sekaligus bisa baca hatinya."

Agnes menyindir dalam hati. Kalau orang mudah membaca hati manusia lain dengan cara itu, tidak akan ada yang namanya pernyataan cinta. Tidak ada yang sakit hati karena lidah. Semuanya bisa dengan mudah berjalan hanya sekadar saling mengenal.

Seperti Gibran. Dia sudah kenal Agnes. Agnes kenal Gibran. Keduanya sama-sama tahu pribadi masing-masing. Tapi, tetap saja keduanya juga sulit menerka apa yang diinginkan lawannya. Ataukah memang Agnes atau Gibran saja yang belum mengenal dekat satu sama lain?

"Kalo gue ada motor, lo mau berangkat bareng gue?" tanya Devin setelah yakin Agnes tidak menyanggah jawabannya barusan.

"Nggak usah."

"Trus buat apa lo nanya kalo nggak mau?" Devin tak lama menyeringai. "Ah, atau--"

"Gue gak bohong dan gue gak peduli. Apa dengan gue nanya berarti gue mau tau urusan hidup lo?" Agnes menoleh. Angkot berhenti karena lampu merah. "Gak selamanya kayak gitu. Orang nanya bukan berarti mau tahu. Tapi orang nanya bisa jadi karena mau basa-basi doang."

Devin menelan salivanya susah payah. Maunya bercanda malah lagi-lagi dibalas dengan keseriusan. Dasar cewek! Susah banget dihadapinnya.

Maunya serius disahutinnya bercanda. Maunya bercanda malah dibalas serius. Ya kalau Agnes beda. Mau bergurau mau serius pun, mukanya tetap saja ditekuk kayak manusia yang kurang jatah hidup.

Gibran itu... [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang