Bab 8

894 55 4
                                    

"Thanks ya kalian udah dateng," ucap Mira di ambang pintu rumahnya.

Hari ini Mira tidak bisa berkata banyak untuk mendeskripsikan apa yang dirasakan. Hanya kata bahagia yang tak mungkin Mira hapus secara mudah dari otaknya.

Ilusinya yang selalu hadir setiap tahun, sekarang benar-benar terjadi. Manusia mana yang tidak bahagia kala salah satu angannya menjadi nyata?

"Iya, Mir. Udah kewajiban. Apalagi gue sama elo kan waktu kelas delapan pernah sekelas," ujar Tena pada Mira.

Mira tersenyum. Begitu mensyukuri karena kedatangan Tena yang tak pernah disangka sebelumnya.

Mengingat Tena jarang sosialisasi sama cewek. Waktu kelas delapan pun, Tena seolah menciptakan jarak pada spesies yang namanya cewek. Kalau butuh pun Tena kayak yang ogah-ogahan banget.

"Elo juga, Nes. Maaf kalo gue udah ganggu waktu lo," ucap Mira merasa tak enak.

Agnes mengendikkan bahunya dengat raut wajah datar. "Gapapa. Jangan dipikirin."

"Hmm..., Ri. Gu--"

"Fahri seneng kok deteng ke rumah Mira. Kue enaknya. Ehh kuenya enak maksud Fahri. Nanti sering-sering undang Fahri ya," potong Fahri dan sukses mendapat toyoran di dahi dari Tena.

"Gak tau malu banget lo! Bukannya bilang maaf ngerepotin," cerca Tena.

Fahri mengusap dahinya. "Fahri kan jujur." Alhasil cowok itu cemberut.

"Yaudah deh, Mir. Kita pulang dulu ya," izin Tena. "Salamin ke bonyok elo, ya."

"Iya nanti gue salamin. Kalian juga hati-hati. Maafin gue ya gak bisa nganter ke gerbang. Gue gak enak sama nyokap gue. Apalagi Bi Odah lagi pulkam."

"Gapapa. Kita nggak akan nyasar kok!"

Mereka pun melambaikan tangan dan Mira berpisah dari teman-temannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, ada satu harapan yang tersirat jelas di matanya.

Di depan gerbang rumah Mira, Agnes melambaikan tangannya singkat pada Tena dan Fahri yang sudah duluan pulang. Sebab Tena membawa motor dengan Fahri yang di boncengannya.

Sebenarnya, dari awal Tena ingin menawari Agnes untuk diantar sampai rumah. Lantaran Agnes itu cewek dan bahaya kalau jalan malam-malam sendirian. Tapi Tena lebih khawatir Fahri.

Cowok itu selain ranking terbawah, untuk masalah pulang ke rumah cowok itu suka kesasar. Ditambah kenaifan Fahri yang mudah kena tipu orang. Untung kalau pulang sekolah angkotnya berhenti di depan rumah Fahri, jadi Fahri akan aman.

Berhubung Agnes mengatakan kalau dia baik-baik saja, Tena jadi tenang. Selain karena Agnes meyakinkan seperti biasa, Agnes punya muka yang menyeramkan. Ah bukan seram maksudnya. Melainkan wajah Agnes yang buat orang-orang jadi malas berpapasan dengan Agnes.

Kembali lagi pada keadaan Agnes. Saat ini cewek itu sedang berjalan sendirian di samping jalan. Karena rumah Mira yang jauh dari jalan raya. Alhasil Agnes harus berjalan untuk mendapat angkutan umum.

Raga Agnes mungkin sekarang masih memijak bumi. Tapi jiwanya tak mungkin berada di tempat. Karena manusia mustahil berhenti untuk berpikir.

Agnes masih tidak bisa tenang. Gibran sepertinya memang marah pada dirinya. Buktinya Gibran tidak menunjukkan batang hidungnya di rumah Mira. Tahu begini, harusnya Agnes tak banyak berharap selama di rumah pesta tadi. Agnes sebaiknya mengukur setinggi apa harapannya soal kedatangan Gibran. Agar jatuhnya pun tak sesakit ini.

Tanpa sadar, Agnes ternyata sudah besar kepala. Gibran tak mungkin sebaik itu. Gibran pasti sudah lelah utuk mengejar Agnes.

Terlalu lama pikiran Agnes berkelana, sebuah lampu motor menyorot ke arahnya bersamaan dengan datangnya motor itu. Membuat pelopak mata Agnes memincing karena silau.

Gibran itu... [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang