7

10.1K 102 2
                                    

sorry for typos ya ;) enjoy!

"Nis! Udah! Gila banyak banget!" seruku terperanjat melihat belanjaan snack-nya yang mungkin bisa memberi makan seluruh anak-anak di Timor Leste.

Anissa nyengir lalu membayar semuanya ke kasir. Aku menggeleng-gelangkan kepala. Tak pernah kulihat Anissa serakus ini sebelumnya.

Kami akhirnya berjalan keluar dari Hypermart dengan kresek penuh. Oh, kami juga telah membeli tiket bioskop, dan masih satu setengah jam lagi. Lalu Anissa membeli es krim untuk dirinya dan aku membeli untuk diriku sendiri. Kami berjalan di area taman sambil tertawa-tawa tak jelas.

Tanpa kusadari, seseorang sedang berlari dari arah berlawanan dan menubrukku. Untung aku dapat menahan es krim yang sedang kupegang.

"Aduh, maaf, maaf! Saya tidak melihat!" seru laki-laki tersebut. Lalu langsung berlari lagi, melewati kami. Terlihat buru-buru sekali.

Aku belum sempat menjawab apapun perkataannya. Namun, sepertinya ada sesuatu yang aneh. Seperti Déjà vu.Kuhiraukan pertanyaan apa-kau-baik-baik-saja-nya Anissa. Pikiranku mengembara. Benar! Sepertinya aku pernah mendengar suara lelaki itu. Dan, sepertinya aku baru-baru ini mendengar suaranya.

"Ngie, itu, pipinya, belepotan," kata Anissa menyadarkan lamunanku.

Aku buru-buru mengambul tisu dari tasku. Lalu, kusadari ada sebuah benda yang tiba-tiba saja terletak disitu. Kuangkat sebuah ponsel Samsung (aku gak tahu jenis apa, karena, sumpah, Samsung jenisnya banyak banget, seperti beranak cucu setiap tahun) berlayar lebar. Kunyalakan ponsel itu, ternyata terkunci. Namun, terpampang jelas lockscreen bergambar seorang lelaki, tersenyum sambil memasukkan tangannya kedalam saku. Wajahnya imut dengan senyum yang menimbulkan dua lesung pipi. Kharisma yang cute dan keren menyatu dalam seseorang lelaki, sangat susah dicari.

Kulihat informasi yang memang sepertinya sengaja ditulis cowok itu di atasnya, mungkin supaya jika ponselnya hilang, ada yang mampu mengembalikannya. Dimas Roland Jonas, 081xxxxxxxxx, Villa lumbung Seminyak.

Aku melemas. Rasanya mau jatuh ketika melihat nama Dimas lagi. Kuajak Anissa untuk duduk di sebuah bangku taman tak jauh dari situ. Anissa memainkan hp-nya sambil menelepon seseorang sementara aku menelusuri kembali ponsel lelaki tadi.

Aku terbingung sendirian. Entah mengapa, aku tahu pasti siapa lelaki ini. Dia pasti adalah lelaki yang salah sambung tadi pagi. Lelaki yang memiliki suara imut bak anak kecil, namun mampu membuatku terus mengingatnya. Aku tak percaya bahwa aku akan menemukannya secepat ini. Benar-benar kebetulan yang indah. Pikiranku pun kembali ke awal: bagaimana caranya untuk mengembalikan ponsel ini?

"Ngie, ke bagian informasi aja yuk. Kali aja dia masih sekitar sini," kata Anissa tiba-tiba seolah-olah memang dia bisa membaca pikiranku. Aku hanya mengangguk, masih tak mampu berkata apa-apa karena sebuah nama yang dulu sudah memecahkan hatiku berkeping-keping.

Setelah kami mengumumkannya lewat informasi, Dimas datang. Benar, ya Tuhan, wajahnya imut sekali. Senyumnya penuh rasa terima kasih, datang ke arahku. Kulihat Anissa di sampingku tak bisa berkata apa-apa. Yah, Dimas memiliki pesona yang tak bisa diungkapkan oleh kata-kata.

"Aduh, makasih banyak, ya. Tadi aku di Calvin Klein, tiba-tiba Jeremy tanyain hapeku dimana. Aku udah kebingungan nyari, ternyata disini. Aku gak tahu harus bilang apa lagi." Ucapnya polos. Aku tersenyum. Jeremy. Nama orang yang tadi pagi juga disebutnya padaku. Berarti dugaanku tepat.

"Kalian mau kemana? Aku temenin deh. Sekalian balas budi," lanjutnya ramah, membuyarkan lamunanku. Namun, bukan karena kegeeran atau apa, aku merasa kalimatnya barusan seperti hanya ingin ditujukan padaku.

"Udah, gak usah sekarang. Kapan-kapan aja," balasku balik ramah. Lalu, seperti teringat sesuatu, Dimas melotot ke arahku.

"Kamu... Angie?"

Aku mau tertawa. Kukira hanya aku saja yang mengingat dia, ternyata dia masih mengingatku dengan suaraku. Lalu aku pun mengangguk.

"OH... yang tadi pagi ya! Wah... Bumi itu sempit sekali ternyata!" lalu akhirnya kami tertawa berbarengan. Anissa menatap kami berdua bingung, seakan gelisah oleh sesuatu.

"Kenapa, Nis?" tanyaku pelan sebelum mau memperkenalkannya pada 'teman'-ku. Anissa hanya menggelengkan kepalanya, lalu berbisik padaku, "Angie lupa, ya?! Kita kan mau nonton! Entar kalau ngobrol terus, ketinggalan! Sayang loh tiketnya!" bisik Anissa geram. Aku pun teringat. Lalu, aku pamit sama Dimas, berlari-lari bersama Anissa menuju bioskop, dengan senyum yang terus menghiasi wajahku.Satu setengah jam yang penuh kejutan.

Mungkin, akan ada Dimas lain yang masuk dalan kehidupanku.

---

"Ngieeeeee... curang ya! Gagal satu langsung dapet yang baru! Huh, curang! Curang, curang curang!" Anissa rewel dalam perjalanan kami pulang dengan taksi online. Aku yang sedari tadi tersenyum tak jelas sekarang kebingungan.

"Aduuh... Nis... Bukan gitu..."

"Terus?"

"Jadi, tadi pagi dia salah sambung ke nomerku, terus tadi pas aku tabrakan sama dia, aku tiba-tiba keinget suara yang tadi pagi itu. Haduuuh... ceritanya panjang deh!" jelasku tak sabar.

Anissa menolehkan kepalanya ke jendela, seolah-olah tak mau mendengarkanku. Aku mendengus. Suasana hening selama beberapa maneit. Akhirnya, aku tak tahan untuk tidak berbiacara.

"Nis, maafin aku, kalo misalnya itu nyakitin hatimu. Aku gak tahu, tiba-tiba aja ketemu dia. Sama sekali bukan aku yang ngerencanain. Lagipula..." aku menarik nafas. God, ini susah. "... dia bukan tipeku kok."

Anissa langsung menolehkan kepalanya ke arahku. Matanya melebar, berbinar-binar. Lalu tertawa keras-keras.

"Hahahahaha...! Anissa cuman bercanda kok, Ngie... Hahahaha... Aduh, makasih lho maafnya... Hahahaha..." katanya sambil terus tertawa. Aku mendengus kesal. Pintar drama juga anak ini!

"Ya, ya, ya..." jawabku jengkel. Kami sudah seperti anak umur lima tahunan yang sedang dikerjai oleh salah seorang saudara kembarnya.

Tawa Anissa mereda. Lalu dia menatapku penuh tanya.

"Beneran, Ngie, dia bukan tipenya Angie? Siapa tadi namanya, Dimas?" Anissa pura-pura terkejut. Aku hampir mau tertawa.

"Kok bisa Dimas lagi, sih, Ngie? Tapi lebih cakepan yang ini, sih..."

"Gak tau deh, Nis. Kok bisa, ya, ketemunya Dimas lagi..."

Anissa tertawa lagi. "Tapi itu bener, bukan tipemu?"

"Kalau iya, kenapa?"

"Kasih Anissa aja! Hahahahaha....!"

Aku memukul pundak Anissa. Lalu tertawa bersama.

X 7,

Love ...or Sex?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang