Yoyo, dapet lagi nih.
Sori, soalnya author rajin bikin tapi susah nyari wifi buat ngepost :( huhu sial banget emang dah.
Sori for typos, kawan! :)
---
Lima hari kemudian...
Malam ini aku tak ada kerjaan. Aku sedang menyeterika baju ketika kudengar suara Pentatonix mengalun dari ponselku. Hmm, ada telepon. Siapa ya?
Aku mematikan seterika dan mengambil ponselku. Nomornya tak dikenal. Kuangkat dan kujawab, "Ya?"
"Angie." Suara diseberang sana membuatku mengernyit heran. Siapa ini?
"Ya, ini Angie. Siapa ini?"
"Dimas."
Aku terbelalak. Ternyata Dimas. Dimas yang membuatku terus memikirkannya tetapi langsung menjatuhkanku tepat ketika dia telah menciumku.
"We need to talk. Please, Ngie." Lanjutnya lagi.
Aku tidak sempat mengatakan apapun karena Dimas langsung memutuskan telepon setelah sebelumnya berkata, "Aku akan ke rumahmu."
Aku bimbang.
---
Sebelum aku bisa ngapa-ngapain, Dimas sudah nongol didepan rumahku. Dia memencet bel sebanyak tiga kali sebelum akhirnya aku membukakan pintu dan dia langsung ngeloyor dan duduk di sofa seolah-olah ini rumahnya, bukan rumahku.
Aku pun akhirnya duduk disampingnya. Aku menatapnya heran. Dimas menatapku kesal.
"Kok kamu gak pernah mau jawab teleponku lagi?" tukas Dimas langsung dengan suara imutnya.
"Aku... eh..." aku tergagap. Tak mungkin aku bilang bahwa aku memergokinya berpacaran dengan seorang lelaki, bukan?
"Aku kangen kamu, Ngie." Ucapnya lagi. Aku terkejut. Dalam hati aku berkata: aku juga kangen kamu, Dim.
"Kamu kangen aku?" tanyaku memastikan.
Dimas mengangguk.
"Aku tanya lagi ya. Kok kamu gak pernah mau jawab teleponku lagi?"
Aku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Okelah, okelah," katanya lagi tanpa menunggu jawabanku. "Sepertinya kamu harus diberi pelajaran," lanjutnya sambil menyeringai nakal. Aku menatapnya takut.
Dimas menangkup wajahku dengan kedua tangannya dan menciumku panas. Lidahnya langsung melesak kedalam mulutku dan memainkan lidahku. Aku mendesah. Kubalas ciumannya dengan ganas. Hmm, ternyata kemampuanku tak hilang juga, pikirku dalam hati.
Ketika aku membalasnya, Dimas menciumku lebih kasar lagi. Tangannya sudah mulai meraba dadaku dan meremasnya. Aku lalu didorong pelan sehingga aku telentang di sofa sementara badannya menindihku. Dia menciumku lagi sementara aku meremas-remas rambutnya. Dimas lalu menyingkap kaosku sehingga dadaku—yang masih memakai bra—terlihat jelas. Lalu dia menanamkan wajahnya ke dadaku. Aku tak tahu harus berbuat apa, dan entah mengapa aku mau memberikannya, bukan menolaknya. Aneh.
Aku hanya bisa meremas rambutnya sementara dia sudah menemukan pengait bra-ku yang memang ada di depan, diantara kedua cup, dan membukanya sehingga payudaraku yang memang besar menyembul keluar.
Dimasku yang dulu bahkan kularang untuk membuka pakaian dalamku. Mengapa aku mau memberikannya pada Dimas yang bahkan baru kukenal ini? Aku hanya bisa mendesah, menggeram pelan, atau menyebut namanya.
Ya, aku jatuh cinta pada Dimas yang ini.
Dimas mengisap puting payudaraku dan mengulumnya. Tangannya meremas payudaraku yang lainnya, dan aku hanya bisa mendesah dan menggeram.
"Dimas... we need to stop..." kataku terengah-engah.
"Hmmh..." jawabnya tak jelas.
"Dimas..."
"Hmmm..."
Ah, jangan sampai!
"DIMAS!" teriakku akhirnya. Dimas mendesah pelan lalu mengangkat wajahnya dari dadaku.
"Kenapa?"
"Jangan... jangan lagi..." ucapku.
Dimas menatapku heran. Seakan-akan aku tidak pernah berhubungan dengan pria lain selain dirinya. Well, itu tidak benar, hanya saja aku tidak ingin memberikan keperawananku padanya saat ini juga.
"Nanti kita keterusan... Jangan ya, Dim..." mohonku.
"Oke, let me just do this." Katanya lalu mencupang leherku.
Aku tersentak, mengingat sesuatu.
Oh, ya Tuhan! Itu yang sering dikatakan dan dilakukan oleh Dimas Angga padaku ketika aku memohon untuk berhenti dari cumbuannya.
Aku tersentak dalam kenyataan. Tanpa sadar kudorong Dimas kuat-kuat dan langsung berlari ke kamarku secepat yang aku bisa, meninggalkan Dimas beserta panggilan-panggilan juga bra dan kaosku.
Aku terisak-isak di kamar, membiarkan Dimas yang langsung keluar dan terdengar suara deru mobil menjauh.
Aku berharap semoga dia tahu dan memberiku waktu.
Menyesali dua kenyataan.
Pertama, aku telah jatuh cinta pada Dimas Roland.
Kedua,
Karena aku baru menyadari bahwa aku merindukan seorang Dimas Angga Pratama dalam hidupku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love ...or Sex?
RomanceKehidupan 2 orang Dimas dalam hidup Angie yang penuh gairah, hawa nafsu, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan 18+ ini, siapa yang mau?