14

9K 86 1
                                    

"Angie... Pagi! Anissa kangen deh sama Angie...!" kata Anissa diseberang sana. Aku mengepit telepon diantara bahuku dan pipiku sementara aku mengoles selai di roti untukku dan untuk Dimas yang masih tertidur.

"Pagi... tumben jam segini udah bangun. Apa kabar?" tanyaku. Selama beberapa hari ini aku memang tak mendapat kabar dari Anissa yang sedang berada di Hongkong untuk me-refreshin­g otaknya sekaligus ada pekerjaan disana. Betapa beruntungnya dia, pikirku.

Ah, aku tersenyum. Namun aku juga sedang beruntung sekarang. Dimas sedang berada di sisiku.

"Baiik... Anissa baru aja selesai renang, hehe. Renang pagi-pagi bikin badan seger ternyata, Ngie. Anissa tiba-tiba keinget Angie trus langsung nelpon. Abis ini mau ke gym, olahraga bentar baru nanti ada meeting sama fotografer dan modelnya. Wish Anissa luck, ya Ngie." Jelasnya panjang lebar.

"Iya, I will..." kataku sambil menutup tumpukan roti pertama dan menaruhnya di piring.

"Eh, Ngie..."

"Hmm?"

"Gimana kabar Dimas?"

Aku tersenyum. Anissa pasti kaget mendengar ini.

"Penasaran ya?" godaku.

"IIh... Angie... kasih tau laah..." Anissa ngotot. Aku tertawa.

"Dimas ke rumahku kemarin,"

"Lalu?"

"Dia nanya kenapa aku tak pernah mau menjawab teleponnya..."

"Terus?"

"Ya aku gak jawab. Kan itu katamu."

"Iya siih... tapi gak mungkin kan Dimas langsung pulang?"

Aku nyengir. "Ya, emang enggak,"

"Terus?"

"Dia bilang sepertinya aku harus dikasih pelajaran,"

"Pelajaran apa?"

"Aku memberikan dadaku sebagai gantinya."

Aku seperti mendengar bunyi 'klontang' dan 'oh, shit' di seberang sana. Aku tertawa.

"Maksudmu, Dimas jajah payudaramu? Dibuka? Telanjang setengah? Gak mungkin Ngieee....!!!"

Aku tertawa. "Aku baru tahu rasanya senikmat itu. Eh, ngomong-ngomong, apa yang jatuh, tuh?"

"Bukan apa-apa, cuma gelas. Duh... Ngie... aku gak nyangka. Dimas-mu yang dulu aja kamu gak kasih gitu..."

Aku tertawa lagi. "Yah... itu kan dulu. Toh ini hukuman, haha."

"Hukuman apa hukuman, Ngie?" tanya Anissa setengah menggoda.

"Hahaha. Bukan hukuman juga sih. Aku menikmatinya, juga."

Lalu kudengar bunyi pelan seperti aliran air. Sepertinya Anissa mengisi kembali gelasnya dengan minuman.

"Lalu? Dia pulang?" tanyanya lagi.

"Nggak. Lagi tidur di kamarku." Jawabku santai.

Kudengar lagi seperti suara cipratan minuman. Anissa pasti tersedak. Aku tertawa. Senang sekali mengerjai dia.

"Tidur... di kamarmu? Wow. Wowowow."

"Hahaha." Kataku sambil mengambil minuman untukku. Entah mengapa, mungkin karena banyak ngomong, aku jadi haus.

"Eh, Ngie..."

"Hmm?"

"Dimas kan gay?"

Aku tersentak. Tanpa sadar kuciprat minuman yang sudah masuk ke mulutku keluar. Astaga! Kok aku lupa? Jadi kemarin... aku bercumbu dengan gay? Yaampun!

"Angie...?" ini bukan suara Anissa. Kutoleh kepalaku ke belakang, Dimas berdiri di ambang pintu kamar sambil mengucek-ucek matanya.

"Angiee...?" ini baru suara Anissa. Aku kelabakan.

"Eh, Niss, aku tutup dulu ya... nanti kita nelpon lagi. Oke? Daahh!" kataku buru-buru tanpa menunggu balasan Anissa. Kututup telepon dan menatap Dimas yang berjalan ke arahku. Astaga, Ngie. Dia gay, Ngie. Kamu kemarin tidur dengan gay, Ngie.

Aku berusaha menahan debar jantungku. Dimas memelukku dan menciumku. Hmm, untungnya dia sudah sikat gigi. Dimas mencium dan mendesakkan lidahnya masuk kedalam mulutku. Dia lalu mendorongku pelan, membuatku menyandarkan pantatku di meja dapur yang rendah. Aku ingin membalas ciuman tersebut, namun aku sadar dia gay. Buru-buru kudorong dia. Dimas yang matanya masih setengah mengantuk menatapku dengan tanya.

"Kamu... bukannya... gay?" tanyaku to the point.

Dimas menatapku kaget. Lalu mendesah dan mendekatkan badannya padaku.

"Sudah kuduga, kau melihatku malam itu. Makanya kamu gak mau jawab teleponku. Bener, kan?" aku mengangguk pelan.

"Jeremy itu teman slash pengasuhku disini. Orangtuaku meninggalkanku begitu saja ke Amerika dan menitipkanku pada Jeremy. Oh, memang gak meninggalkan sih. Lebih tepatnya gak mau mengurusku demi pekerjaan gemilang disana.

"Jeremy yang menemaniku sejak kecil. Aku tinggal bersama orangtuanya yang memang baik sekali. Dan, mungkin karena sering ketemu itu, Jeremy jatuh cinta padaku. Aku gak tahu hingga malam itu dia memberitahuku. Pantas saja dia suka sekali membatasiku, menghalangiku untuk pergi dengan perempuan. Dia hanya mau aku bersama dengannya.

"Kemarin dia marah-marah sama aku karena aku ajak kamu jalan. Dan lalu dia meluk aku dan bilang dia sayang aku. Tapi, aku tak mau dengannya. Aku masih ingin membuktikan ke orangtuaku bahwa aku sudah berusaha keras selama aku hidup tanpa mereka. Aku tak mau mereka ngira karena mereka aku jadi putus asa dan lalu menjadi suka sama cowok." Dimas lalu menutup penjelasannya.

Aku mengangguk mengerti. Oh, begitu. Wajar saja sih, orang seperti Dimas memang bisa memikat kedua jenis kelamin.

"Lalu, kok kamu tadi malem kesini?" tanyaku penasaran.

"Karena aku menyadari..." Dimas mendekatkan bibirnya ke telingaku.

"Aku jatuh cinta padamu." Dan dia menjajah leherku, membopongku ke kamar.

Love ...or Sex?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang