Byur!
Harits membelalakkan matanya. Teman-temannya itu sudah keterlaluan. Ia menggertakkan giginya.
"Alisyah!" Ali berseru cemas.
Ali semakin tersulut emosi melihat kondisi Alisyah. Namun ini bukan saatnya memperdulikan tawa mereka. Ali segera membuka jaket yang ia kenakan lalu memakaikannya pada Alisyah.
Alisyah hanya diam merasakan udara yang semakin dingin menusuk kulit saat dirinya basah kuyup. Marah pun tidak akan mampu membuat tubuhnya kering. Namun ia merasa lebih baik saat Ali memberikan jaketnya. Ya, meski tetap saja rasa dingin itu tidak hilang.
"Gue kira, lo bakal perbaikin kesalahan lo. Tapi ternyata apa? Kalau tujuan lo cuma pengen bikin Alisyah kayak gini, lo berhasil, Rist. Selamat!"
Setelah mengucapkan itu, Ali langsung membawa pergi Alisyah dari rumah Harist. Ali benar-benar muak dengan lelaki itu.
"Apa maksud kalian semua kayak gitu, hah?!" Harist membentak teman-temannya. Rahangnya mengeras.
Semua menunduk tidak berani menatap lelaki itu. Harist kalau sudah naik pitam memang menyeramkan.
"Rist, ayolah. Dia itu cewek yang enggak banget gayanya. Lo enggak mungkin 'kan suka sama dia? Lo juga enggak mungkin 'kan marahin kita kayak gini cuma karena dia." Seseorang mencoba memberanikan diri untuk bersuara.
"Kalau iya, kenapa? Apa urusannya sama kalian?! Kalian enggak suka?!"
Semuanya diam membisu. Hening beberapa saat.
"Ayolah, Rist. Kita tadi cuma takut lo kalah dari Ali. Lo 'kan tau sendiri kalau lo berantem sama Ali, lo bakal babak belur."
"Apa? Gue enggak salah denger? Kalian takut gue kalah dan babak belur? Udah tau kalau berurusan sama Ali bakalan ribet tapi lo semua malah kayak gini?! Punya otak enggak sih lo semua?!" Harist mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Punya 'lah." Seseorang yang lain menyahut.
Harist tertawa hambar. "Kalau punya, lo semua sekarang pergi dan jangan pernah muncul di depan gue lagi! Gue muak sama lo semua! Acara malem ini batal!"
Harist segera berjalan memasuki rumahnya meninggalkan teman-temannya begitu saja. Begitupun dengan acara ulang tahunnya yang diadakan di sekitar kolam renangnya.
Argh!
Teman-teman Harist mulai bersuara. Saling menyalahkan satu sama lain. Gagal. Semuanya berantakan.
***
Alisyah sudah terlelap namun Ali masih setia di samping Alisyah. Ali memandang lekat wajah adiknya itu. Tida banyak perubahan di wajah adiknya. Alisyah masih seperti princess kecil dalam dunia dongengnya dulu. Dalam kerajaan permainan mereka dulu.
Kini Alisyah tetaplah menjadi seorang putri yang menjadi saudara kandung pangeran Ali di kerajaan mereka. Pangeran yang selalu ingin melindungi adik perempuannya.
Namun sang pangeran tetap saja belum bisa benar-benar melindungi putri dari marabahaya. Sang putri tetap saja harus terbaring lemah dan dirinya selalu saja menyalahkan yang terjadi.
Padahal tidak lama lagi waktu hanh tersisa bagi Ali untuk di sisi Alisyah. Setelah lulus, Ali tidak akan bisa lagi menjaga adiknya itu. Ia akan pergi sejauh mungkin dari Alisyah.
Bukan ingin jauh. Namun ia memang harus melangkah jauh. Keputusannya untuk kuliah di Al-Azhar Kairo tidak bisa diganggu gugat lagi. Itu telah menjadi janjinya kepada kedua orang tuanya.
"Maafin kak Al, Dik."
Ali bangkit dari duduknya. Ia segera menyelimuti tubuh Alisyah dengan selimut berlapis-lapis karena takut Alisyah kedinginan dan demam.
Ali kemudian mematikan lampu kamar Alisyah dan melangkah keluar.
"Selamat malam, putri Alisyah." Ali menutup pintu kamar Alisyah.
***
L
agi-lagi suara pukulan keras terdengar dari dalam rumah yang terlihat begitu mewah. Bukan hanya sekali, namun berkali-kali.
Seorang lelaki tersungkur di lantai dengan darah yang mengalir dari hidung dan ujung bibirnya. Ia berusaha menahan rasa panas di dadanya yang sejak tadi membuat nafasnya tidak beraturan.
"Dasar anak enggak tau diri!"
Sumpah serapah yang keluar dari mulut lelaki yang ia panggil 'Papa' itu berusaha tidak ia dengar. Baginya itu sudah seperti makanan sehari-hari. Ia justru tersenyum miris.
"Bisa-bisanya yah kamu ngadain pesta sebesar itu terus kamu tinggalin! Anak enggak tau diuntung!"
Papanya berbalik begitu saja meninggalkan dia setelah mengucapkan itu. Lelaki itu bangkit sambil mengusap darah segar di ujung bibirnya. Ia lalu berjalan dengan tertatih sambil tertawa. Seakan menertawakan kehidupannya yang menyedihkan.
Seorang pembantu terlihat bergegas menghampirinya. "Tuan muda Harist mau Bibi buatin air hangat?"
Harist menggeleng. Tanpa bersuara lagi, dia langsung menuju kamarnya. Ia mengunci kamarnya lalu menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
Harist kembali tertawa. "Gue enggak tau apa alasan gue berani ngelawan Papa hari ini. Tapi yang gue tau, gue enggak mungkin ngerayain ultah gue sama orang yang udah memperlakukan lo enggak pantas kayak gitu, Alisyah."
Harist memejamkan matanya. Bahkan tubuhnya yang terasa remuk atau wajahnya yang terasa sakit tidak digubrisnya.
Semua rasa sakit yang ia rasakan tidak sebanding dengan hatinya yang sejak lama sudah mati rasa.
***
"Kamu yakin mau sekolah, Dik? Kayaknya kamu demam deh." Ali menatap cemas Alisyah.
"Apa sih, Kak? Aku enggak papah kok. Lagipula hari ini ada ulangan harian. Nanti aku ketinggalan." Alisyah segera memasukkan beberapa buku ke dalam tasnya.
Ali menghela nafasnya. Namanya juga Alisyah. Sifatnya memang keras kepala. Dia tidak akan mendengarkan Ali Sekarang.
"Yaudah deh. Sarapan dulu, yuk!"
Keduanya segera melangkah ke lantai bawah untuk sarapan.
"Nanti pulang Kakak ada rapat Osis. Kamu mau nunggu Kakak atau pulang duluan?" Ali bertanya setelah selesai menghabiskan sarapannya.
"Em, kayaknya bareng Kakak aja." Alisyah segera berjalan ke dapur untuk mencuci piring di wastafel.
"Biar Kakak aja. Belajar gih, sana. Mau ulangan harian tapi enggak belajar. Semalem kamu langsung tidur, kan?" Ali segera menggantikan posisi Alisyah.
"Iya. Alisyah lupa." Alisyah segera berjalan kembali ke meja makan dan membuka tasnya lalu mengambil sebuah buku dan membacanya sebentar.
Ali menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Ia segera melangkah menghampiri Alisyah dan meraih tasnya.
"Yuk, Dik. Kita harus berangkat."
Alisyah mengangguk. Ia menutup bukunya dan memasukkan ke dalam tas miliknya.
Ali merangkul Alisyah. "Kalau ada apa-apa bilang aja sama Kakak."
Lagi-lagi, Alisyah mengangguk patuh.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Alisyah Nur Firdaus
SpiritualAlisyah Nur Firdaus, namanya. Gadis berniqab dengan khimar panjangnya itu menjalani hari-harinya dengan penuh tantangan. Menguji keistiqamahan dan keteguhan hatinya. Dengan kakaknya, Ali Nur Firdaus yang terus menjaga Alisyah dengan penuh kasih saya...