18 | Grieve

525 45 5
                                    

Alisyah menatap gundukan tanah di hadapannya dengan tidak fokus. Pandangannya mengabur seiring dengan air mata yang kembali mengalir di wajahnya. Seakan-akan kedua matanya yang berkantung tidak cukup untuk membuktikan betapa lelahnya dirinya kini.

Bibirnya terkatup rapat-rapat, enggan untuk berbicara. Tanpa memperdulikan kepalanya yang berdenyut ataupun perutnya yang nyeri karena belum terisi oleh nasi sedikitpun, ia kembali menaburkan bunga di atas makan uminya.

Suasana di pemakaman sudah mulai lenggang. Kini hanya menyisakan Alisyah, Ali dan Faiz. Sebagai seorang Ayah, Faiz berusaha untuk tetap terlihat tegar di hadapan kedua anaknya. Ia merangkul kedua anaknya itu yang tepat berada di sebelah kanan dan kirinya.

Bahkan sorot mata Ali yang biasanya terlihat tajam penuh keyakinan dan percaya diri kini meredup. Tidak lagi menunjukkan sosoknya yang bersinar seperti biasanya.

Belum ada satupun dari ketiga orang itu yang memulai pembicaraan. Pikiran ketiganya masih terus berputar pada kebersamaan mereka dengan orang terkasih yang kini telah tiada. Hatinya masih belum cukup untuk meyakini kebenaran perihal kenyataan yang harus diterima dengan begitu mendadak.

Tubuh Alisyah berguncang hebat diiringi dengan isak tangisnya yang mulai terdengar. Ia kembali mengingat percakapannya dengan uminya di rumah sakit sebelum uminya meninggal dunia.

Ketika uminya memaksa meminta Alisyah menemaninya ke taman rumah sakit. Ketika ia mendorong kursi roda yang diduduki uminya dengan hati-hati.

"Alisyah." Panggilan uminya padanya saat itu masih teringat dengan jelas.

"Jangan lupakan dua kunci kehidupan yang akan bisa digunakan di manapun kamu berada yah, Nak. Selalu bersabar dan bersyukur."

Alisyah saat itu tidak memahami bahwa yang diucapkan uminya adalah petuah-petuah terakhir untuknya. Ketika itu, ia hanya menjawab semampunya tanpa berpikir lebih banyak. Tanpa berpikir bahwa Zahra akan segera pergi meninggalkannya.

Bukankah ini terlalu cepat? Bahkan dirinya belum sempat membahagiakan wanita yang melahirkannya itu.

Kini ingatannya kembali pada saat Zahra mengunjungi kamarnya kala itu.

"Umi, bisakah Alisyah seperti Umi? Alisyah ingin bisa seperti Umi. Sebagaimana bintang yang satu dengan yang lainnya sama-sama bersinar."

Sewaktu itu Zahra menjawabnya dengan tersenyum penuh kesabaran. "Kamu salah, Nak. Bahkan bintang sekalipun berbeda satu dengan yang lainnya. Masing-masing memiliki cahayanya sendiri. Tanpa meniru yang lain."

Alisyah yang mendengar jawaban uminya terdiam. Tidak menyangka uminya akan menjawab begitu. Ia pikir, Zahra akan senang karena Alisyah ingin sepertinya.

"Isyah harus punya cahaya Isyah sendiri. Hanya akan ada satu Alisyah nur firdaus yang seperti Isyah di dunia ini. Begitupun Umi. Begitulah Allah menciptakan manusia. Dengan begitu indahnya dan berbeda antara satu dengan yang lainnya."

Alisyah memejamkan matanya. Ingin hatinya berkata bahwa dirinya tidak sanggup menerima kenyataan ini. Namun logikanya menolak. Ia harus bertahan seberat apapun cobaan yang ia hadapi.

Bukan untuk uminya, bukan untuk abinya, bukan juga untuk kakaknya, melainkan untuk dirinya sendiri.

"Alisyah." Panggilan itu membuat Alisyah membuka matanya. Ia menoleh pada Zakiyah yang kini sudah tiba di sebelahnya.

Kedua mata sahabatnya itu terlihat berkaca-kaca. Tanpa ragu, Zakiyah memeluk Alisyah. Menepuk-nepuk punggungnya, mencoba memberikan kekuatan pada Alisyah agar gadis itu mampu melewati semuanya dengan tegar.

Alisyah Nur FirdausTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang