29 | Home

447 35 3
                                    

Hujan turun deras membasahi bumi. Suaranya memecah keheningan yang tercipta pada malam hari. Kehadirannya membawa suasana malam menjadi semakin dingin.

Zayn melepas jaket tebal yang sebelumnya ia kenakan. Ia membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Lalu menutupnya dengan pelan.

"Kamu dari mana aja, Zayn?"

Suara mamanya menyambut kepulangan Zayn. Ia membalikkan badannya, menghadap pada Farhah. Zayn mencium punggung tangan mamanya.

"Mama kok belum tidur?" Zayn justru balik bertanya.

"Belum. Nungguin kamu."

"Zhifa udah tidur, Mah? Ini Zayn bawa makanan tadi beli sebelum pulang. Mama mau makan atau masukin ke lemari es aja?" Zayn menunjukkan plastik berwarna hitam pada mamanya.

"Uang dari mana kamu beli makanan itu?" Mamanya menginterogasi.

"Zayn lagi ada uang, Mah. Yaudah kalau Mama enggak mau makan sekarang, Zayn masukin ke lemari es yah?" Zayn berjalan ke dapur diikuti oleh Farhah.

"Kamu belum jawab pertanyaan Mama," ujar Farhah selepas Zayn menutup kembali pintu kulkas.

Zayn menghela nafasnya. Ia mengibaskan rambutnya yang basah karena terkena air hujan. "Tadi 'kan Zayn udah jawab, Mah."

"Kamu nyuri?" tuduh Farhah.

Pupil Zayn membesar. Ia tidak menyangka mamanya akan berpikir begitu. "Mama enggak boleh su'udzon gitu ih. Zayn anak baik-baik."

Ada perasaan kecewa di hati Zayn mendengar tuduhan mamanya. Bahkan tuduhan itu tidak pernah terlintas sedikitpun di kepala Zayn.

"Kamunya yang bikin Mama bawaannya su'udzon, Zayn."

"Ya Allah, Mah. Zayn enggak nyuri. Sedikitpun enggak. Berpikir buat nyuri aja enggak, Mah. Gimana bisa Mama berpikiran buruk kalau Zayn itu nyuri?" Zayn berkata dengan pelan namun dari nada bicaranya sangat jelas terdengar kekecewaan.

"Astagfirullah. Maafin Mama yah, Nak. Mama terlalu takut."

Zayn menatap mamanya. Ia bisa melihat kedua mata mamanya yang berkaca-kaca. Semua ini pasti sulit untuk mamanya. Ia tahu beban yang mamanya pikul bukanlah hal yang ringan.

Zayn mendekati Farhah. "Mah, jangan pernah berpikir kayak gitu. Zayn juga tau mana yang baik mana yang buruk, Mah."

Farhah menunduk. Ia memijat pelipisnya. "Maafin Mama, Zayn."

Zayn mengelus punggung mamanya. "Mama kalau ada sesuatu omongin aja sama Zayn. Jangan dijadiin beban. Zayn dapet uang karena kerja, Mah. Bukan nyuri. Mama istirahat yah. Mama pasti kecapekan."

Farhah mengangguk. Ia bangkit dari duduknya. "Mama istirahat yah, Zayn. Kamu cepet ganti baju. Jangan sampe kamu sakit."

"Iya, Mah," jawab Zayn.

Zayn mengamati Farhah sampai mamanya masuk ke kamar. Ia kemudian menghembuskan nafas berat. Senyum yang tadi terbit kini menghilang begitu saja.

Lelah yang ia rasakan tidak boleh sampai diketahui mamanya. Ia tidak ingin mamanya sedih. Tidak peduli seberapa sulit pekerjaan yang Zayn lakukan, ia akan terus melakukannya meski tubuhnya menolak.

Keluarganya harus hidup dengan berkecukupan. Zayn tidak ingin Mama dan adiknya kesusahan. Ia berjanji dalam hati agar terus berusaha sekeras mungkin. Ia ingin semuanya tetap baik-baik saja.

***

Harist merebahkan tubuhnya di atas kasur. Ia memejamkan matanya. Sejak pagi tadi entah kenapa ia merasa kondisi tubuhnya sedang tidak sehat. Kepalanya terus berdenyut.

Alisyah Nur FirdausTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang