"Kenapa baru pulang jam segini?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut papanya membuat Harist yang baru memasuki rumah mempercepat langkahnya. Lagi-lagi ia harus berurusan dengan papanya.
"Harist!" tegur papanya.
"Apa sih, Pa?" Harist menoleh pada papanya. Papanya bisa melihat dengan jelas bekas luka pukulan di wajah Harist.
"Habis berantem kamu?" Papanya melontarkan pertanyaan yang sebenarnya adalah sebuah pernyataan.
"Mau berantem," jawab Harist menyeleneh.
"Sama siapa?"
"Sama Papa."
Papanya menatap tajam Harist. "Kurang ajar kamu."
"Pah, udah yah. Harist lagi enggak mau berantem malem ini." Harist menyerah. Ia kembali melangkah menuju kamarnya.
"Apa yang harus Papa lakuin biar kamu enggak nakal lagi, Rist?"
Ucapan papanya yang pelan masih sempat terdengar ke telinga Harist. Ia ikut berkata pelan, "berhenti cari perempuan pengganti Mama."
"Kita harus saling ngerti, Rist. Kamu jangan egois gitu," ucap papanya.
Harist menoleh dengan sorot mata tajam. "Seharusnya sebelum Papa ngomong gitu, Papa ngaca dulu." Harist berkata tanpa disaring terlebih dahulu.
"Kamu makin enggak punya sopan santun yah sama orang tua." Papanya berbicara dengan ketus.
"Papa enggak pernah ngajarin aku gimana caranya jadi anak yang sopan dan santun."
Setelah mengucapkan itu, Harist menuju kamarnya. Tanpa keduanya sadari, dengan pertemuan mereka antara seorang Ayah dengan anak laki-lakinya, mereka justru terus saling menyakiti.
Seorang anak akan mengikuti ayahnya. Oleh sebab itu, perlu figur seorang Ibu untuk menjadi penengah bagi mereka. Untuk hal ini, papanya Harist tahu lebih dulu.
***
Udara dingin menusuk kulit Alisyah ketika gadis itu hendak menutup jendela kamarnya. Alisyah menggigil. Ia buru-buru menutupnya.
Keheningan malam kembali mendominasi suasana di rumah Alisyah. Ia menjatuhkan tubuhnya di atas kasur lalu melirik ponselnya yang berada di atas meja.
Alisyah menghela nafasnya. Sudah sejak kemarin ia menunggu pesan Zakiyah. Berharap sahabatnya itu mengucapkan selamat ulang tahun padanya meskipun tidak secara langsung.
Namun nihil. Kenyataannya, sejak kemarin maupun hari ini, tidak ada tanda-tanda bahwa sahabatnya itu akan memberikan ucapan ulang tahun.
Alisyah menyerah. Ia bangkit lalu berjalan menuju kamar mandi. Hendak berwudhu lalu tidur.
Malam ini, lagi-lagi dia merasa kecewa.
***
"Ifa, mau buah?" Zayn menghampiri adiknya yang tengah memainkan boneka sambil membawa piring yang terisi irisan buah apel.
Zhifa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada bonekanya. Ia menggeleng. "Maunya esklim."
Zayn duduk di sebelah Zhifa. Ia mengambil garpu di atas piring lalu menusukkannya pada buah apel. "Aa punyanya buah."
Zhifa cemberut. Ia menggerakkan tangan boneka yang dipegangnya dengan kesal.
"Ayu, aaa~" Zayn hendak menyuapkan buah itu pada Zhifa.
Sekalipun Zhifa cemberut, ia tetap membuka mulutnya dan melahap buah apel itu. Melihatnya, Zayn terkekeh. Ia mengusap kepala Zhifa beberapa kali. Lalu berkata, "anak pintar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alisyah Nur Firdaus
EspiritualAlisyah Nur Firdaus, namanya. Gadis berniqab dengan khimar panjangnya itu menjalani hari-harinya dengan penuh tantangan. Menguji keistiqamahan dan keteguhan hatinya. Dengan kakaknya, Ali Nur Firdaus yang terus menjaga Alisyah dengan penuh kasih saya...