Matahari yang berada tepat di tengah-tengah langit terlihat terik. Berkali-kali Alisyah menyeka keringatnya yang semakin bercucuran karena harus melakukan gerakan kebugaran jasmani di tengah hari. Teman-temannya pun mulai mengeluh. Alisyah melirik jam ditangannya, seharusnya sekarang waktu pelajaran olahraga sudah—
"Oke, sudah habis jam pelajaran, Bapak. Kalian boleh kembali ke kelas."
Seluruh murid kelas XI MIPA 2 menghela nafas lega. Satu-persatu murid bubar dari lapangan. Begitupun Alisyah yang langsung hendak menuju kelasnya. Namun cengkraman di tangannya membuat Alisyah berhenti.
"Nadia?" tanyanya dengan heran begitu melihat sang pelaku pemegang tangannya.
"Gue pengen ngomong," kata Nadia yang tidak terdengar seperti permintaan. Justru lebih seperti perintah.
"Nanti aja aku ha—"
"Sekarang." Nadia tidak ingin dibantah.
Alisyah menurut. Akhirnya, alih-alih menuju kelas, keduanya justru menuju ke taman belakang sekolah. Angin sepoi-sepoi setidaknya mampu membuat Alisyah sedikit tidak menyesal untuk berada di taman belakang sekolah.
"Ayo kita perjelas semuanya," cetus Nadia.
"Perjelas apa?" Alisyah justru balik bertanya.
Nadia tidak menjawab. Ia justru melanjutkan kalimatnya. "Cuma ada satu solusi untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di keluarga kita."
Alisyah yang mulai mengerti kini diam menunggu Nadia menjelaskan solusi yang dia maksud.
"Kita pertemukan keluarga kita," ujar Nadia.
Kedua alis Alisyah tersentak bersamaan. "Kamu serius?"
Nadia mengangguk. "Gue serius."
Alisyah kembali bungkam, memikirkan segala kemungkinan yang terjadi bila kedua keluarga mereka bertemu. Tentu memang akan membawa dampak yang baik. Namun dampak buruk juga tentu saja tidak terhindarkan.
"Alisyah," panggil Nadia lagi. Ia mencengkram kedua lengan Alisyah dengan kuat.
Alisyah meringis. Tiba-tiba rasa takut kembali menyergapnya. Ia takut Nadia kembali melakukan hal-hal yang menyakitinya.
Namun rasa takut itu seketika memudar ketika melihat kedua mata Nadia yang berkaca-kaca. Bahunya turun.
"Lo pikir, gue mau ngelakuin ini semua?" Nadia berkata dengan suara parau.
"Gue juga sakit, Alisyah. Gue sakit setiap nyakitin orang lain." Nadia kini menunduk.
Kedua alis Alisyah mengerut. Bibirnya terkatup rapat-rapat. Apa yang Nadia ucapkan menyadarkan dirinya tentang sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa orang jahat memang tercipta dari orang baik yang tersakiti.
"Tapi gue enggak bisa diem aja. Gue harus buat keluarga lo sadar kalau kalian bahagia di saat yang salah."
Alisyah belum berkutik. Ia bahkan tidak berniat menyingkirkan cengkraman Nadia yang mulai menyakiti lengannya.
"Jadi, .... " Nadia mengangkat kepalanya, menatap Alisyah.
"Gue harap kita berani buat nyelesain semuanya yang sudah terlanjur berantakan karena terlalu lama tidak diselesaikan."
Alisyah memegang kedua tangan Nadia. Menurunkannya dengan gerakan lembut. Ia lalu mengulum senyum tipis. "Iya, Nad."
Nadia menghela nafas lega. Ia tersenyum sambil menepuk pundak Alisyah.
Alisyah tertegun. Untuk pertama kalinya, ia melihat Nadia tersenyum padanya. Ia lalu ikut tersenyum.
"Oh iya, satu lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alisyah Nur Firdaus
SpiritualAlisyah Nur Firdaus, namanya. Gadis berniqab dengan khimar panjangnya itu menjalani hari-harinya dengan penuh tantangan. Menguji keistiqamahan dan keteguhan hatinya. Dengan kakaknya, Ali Nur Firdaus yang terus menjaga Alisyah dengan penuh kasih saya...