Chapter 10 | Ciuman Pertama

16.5K 813 9
                                    

"Kau adalah keajaiban yang mampu membuat jantungku berdetak cepat dan otakku berjalan lambat."

"Tanda tangan, Kiara. Udah 3 bulan nih!" Itulah yang sedari tadi Dinda tagih pada Kiara yang sedang fokus menanda-tangani buku terbarunya.

Ada sekitar 1000 buku bersampul merah muda yang harus Kiara tanda-tangani dengan sabar dan kuat hati. Memberi tanda tangan bukanlah hal yang sulit. Yang membuat sulit adalah ocehan Dinda yang terus berputar pada satu hal. Satu hal yang bagi Kiara rumit.

"Ketemu Pak Victor aja susah, gimana mau ketemu Karen? Trus gimana cara ketemu sama band gak jelas itu? Lo mikir sejauh itu gak sih?"

"Gue udah mikirin hal itu matang-matang. Gue minta tolong sama lo karena gue tahu kalau lo itu perempuan tangguh."

"Lo tau kan kalau gue benci sama anak band? Nanti gue malah hajar mereka satu-satu lagi."

"Ayolah, Ara. Gue mohon." Dinda menatap Kiara penuh harap. Ia tahu sahabatnya itu akan mengabulkan permintaannya.

Kiara benci tatapan Dinda. Bukan karena Dinda terlihat menjengkelkan. Tetapi karena ia selalu luluh karena senyuman itu. Kiara adalah wanita yang tak mau menghancurkan harapan orang lain. Kiara bersumpah tidak akan pernah melakukan hal itu karena ia tahu rasa sakit yang timbul karena harapan yang dipatahkan dengan semena-mena.

"Ya udah." Kiara meletakkan 10 buku yang baru saja ia tanda-tangani ke dalam kardus yang sudah terisi sebagian penuh.

"Maksudnya ya udah?"

"Iya, gue bantuin. Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

"Lo harus jagain Javon, gue gak mau anak gue terlantar gara-gara sebuah tanda-tangan."

Dinda mengangguk antusias. Menjaga Javon bukanlah hal yang terlalu sulit baginya. Selain karena menyukai anak-anak, Dinda juga pernah merawat adiknya yang masih bayi dulu. Jadi lebih kurang ia tahu bagaimana caranya mengurus bayi.

"Ara, lo gak laper?"

"Laper sih, tapi gak ada makanan di sini." Kiara menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 1 siang. Sudah satu jam mereka melewatkan jam makan, semua ini karena pekerjaan Kiara yang tak ada habis-habisnya.

"Itu kode?" Dinda tertawa kecil lalu melirik Kiara yang tiba-tiba tersenyum saat melihat layar ponselnya. "Lo gila? Aneh banget lo senyum gitu, biasanya cemberut mulu."

Kiara menatap Dinda lalu menggeleng. "Gue waras kok, tapi beliin gue makanan ya supaya gue gak gila."

"Lo mah sukanya nyuruh-nyuruh gue mulu!" Dinda berdecak kesal.

"Abis gak ada yang bisa disuruh lagi."

"Kan bisa nyuruh OB."

"Ya udah, lo panggilin OB ya."

Dinda menghela napas frustasi. "Ya udah, gue yang beliin aja sekalian gue juga mau makan biar gak ikutan gila kayak lo."

"Gak apa-apa deh gue dibilang gila, asal dibeliin makanan." Kiara kini mengamati Dinda yang melangkah keluar dari ruang kerjanya seraya membawa dompet hitam kesayangannya.

Setelah Dinda keluar, Kiara malah menghela napas. Bukan karena bosan akan pekerjaannya, tetapi karena ia menyadari hal aneh di dalam dirinya. Hal yang seharusnya tidak ia lakukan sejak beberapa tahun yang lalu.

The Baby is Mine [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang