BAB 1

8.7K 347 1
                                    

"Karena tanpa sebuah awal. Tidak pernah tercipta sebuah akhir."

Dua gadis berseragam abu-abu itu saling mengejar di lorong sekolah. Tanpa berpikir ini sesuatu hal yang memalukan, tak pantas untuk anak SMA kelas sepuluh jaman sekarang. Tapi, selingan tawa yang beraduk itu membuat keduanya berpikir ini hanya dunia milik mereka.

"Rei, balikin novel gue, ih!" seru Bety.

Dua gadis itu masih terus berkejaran. Rei memang sengaja mengambil novel Bety. Menjahilinya. Seperti hari-hari yang biasa di antara mereka, akhirnya kini mengikut-pautkan Bety sampai berlari-lari begitu.

Rei terus berlari tidak peduli. Rambutnya yang sengaja tak dikuncit berkibar menyapa angin. Sementara mukanya dengan senyum bahagia melebar begitu saja, membuat gadis ini benar-benar terlihat cantik.

"Ambil aja sendiri kalau bisa..." balas Rei yang makin menjauh dari Bety.

Bety makin kesusahan meraih. Tak semacam Rei yang lebih bersemangat, gadis itu mulai kehilangan tenaga. Tertinggal jauh di belakang sana. Sehingga Rei bisa menunggu sejenak untuk berdiri dan diam di satu tempat.

"Lagi-lagi lo, Rei," seru seseorang.

Novel di tangan Rei dengan cepat terambil begitu saja.

"Oi, balikin novel gue!" pinta Rei setelah melihat pelaku aslinya.

Riki dengan wajah tenang meluruskan lengan kanannya yang memegang novel itu ke atas. Berhubung pria itu punya tinggi lebih-lebih dari gadis seperti Rei. Gadis itu tak bisa meraihnya, meski Rei memaksakan tubuhnya meloncat.

"Ini novel Bety kan, ngapain juga lo bawa?" tanya Riki.

Rei masih bersikeras meloncat-loncat mengambil novel itu.

"Lo tuh ya. Gak akan bisa ambil novel di tangan gue. Makannya, tinggiin dulu tubuh lo tuh," ejek Riki.

Akhirnya Rei berhenti.

"Lo tuh, ngomong aja suka ma Bety. Sok-sok jadi pahlawan buat dia tapi gak pernah ngomong langsung, ah, basi!" balas Rei lantang.

Riki respon menurunkan lengannya. Ada dag-dig-dug yang berbeda di hati pria itu.

Ah, Rei sialan!

"Novel gue!" Bety segera menyeru tepat dari lima langkah terdekatnya.

Riki dan Rei menoleh bersamaan pada Bety. Menatap wajah lelah gadis itu lewat bulir-bulir keringatnya. Rei emang jago bikin temennya olahraga siang-siang.

"Eh, kok jadi ada Riki?" tanya Bety baru menyadarinya.

"Tadi itu Riki..." Rei baru saja ingin menjelaskan, tapi entah apa yang membuat Riki berpikir rahasianya bakal terbongkar. Pria itu segera membungkam mulut Rei.

"Nih gue balikin novel lo!" ujar Riki. Tangan kirinya masih tetap membungkam mulut Rei. Sementara yang kanan berulur sopan pada Bety. Memberikan novel yang tadi masih dipegangnya.

"Ah, ya..." Bety menerima novel itu. Ada rasa aneh melihat tingkah dua orang di depannya.

"Gue duluan, ya!" pamit Riki. Pria itu segera cap-cus dan melepaskan tangannya dari mulut Rei.

Rei kembali bernafas bebas. Gadis itu tadinya hampir sesak karena bukan mulutnya aja, tangan si pebasket itu juga membungkam lubang nafas hidungnya.

"Uh... gajelas tuh anak," umpat Rei kesal.

"Lo tuh yang gak jelas, pakek ambil novel gue segala!" timpal Bety setengah emosi.

"Yah... maaf. Lagian kalau gak gue ambil, lo gak bakal mau ke kantin," ujar Rei sambil meringis jahil.

Tiga Belas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang