BAB 29

704 56 0
                                    

"Terkadang Tuhan memberikan yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Karena Ia selalu tau yang terbaik untuk hamba-Nya"

Kenangan itu terus menerus berbaris rapi mengisi kepala Rei. Secuil gambaran yang mengartikan sebuah makna kebesaran. Makin membuat detak jantungnya berdegub kencang.

Membuatnya makin berada dalam kondisi kacau.

Berasa bukan lagi berjalan di dunianya.

Beberapa menit mengisi isakan di dalam mobil, akhirnya Rei turun setelah sedetik mobil Dafa berhenti di depan pintu rumah sakit. Gadis itu tak peduli lagi bagaimana dirinya akan bereaksi. Atau berpikir untuk lebih tenang dan mengendalikan perasaannya.

Ia hanya terus menggerakkan kakinya untuk melangkah secepat apapun yang ia mampu.

Berlari dan terus berlari tanpa peduli apapun di sekelilingnya.

Di sela detik kakinya berlari. Hatinya tak henti untuk berkata.

Untuk meminta pada Yang Kuasa.

Tuhan yang dipercainya.

Rei terus memohon.

Meminta permintaan mustahil agar apa yang dikatakan tante Mira hanya sebuah kejutan belaka. Hanya untuk membuat Rei terkejut dan marah. Canda tawa seperti apa yang biasa dilakukannya.

Kalaupun itu semua nyata. Rei tak akan bisa melakukan apapun. Ia hanya bisa meminta kemustahilan untuk mengubahnya menjadi mimpi. Atau mengubahnya menjadi hal lain yang tak berhubungan dengan dirinya dan kenyataan.

Rei semakin mendekat ke tempat yang ditujunya.

Tapi...

Lambat laun, kakinya yang sejujurnya tidak lelah seperti melambat atau waktu memang tengah diperlambat.

Sesuatu yang melambat itu memicu kenangan yang kelam kembali muncul. Mengisi memorinya dengan masa lalu yang telah lama terpendam.

Saat mamanya masih kuat untuk tertawa. Atau sekedar tersenyum ketika melihat dirinya. Kadang mamanya nampak sedih, sedangkan Rei terlalu enggan untuk peduli.

Tapi lebih menyakitkan lagi. Rei belum setahun berbaikan dengan mamanya. Belum setahun gadis itu mengabdikan diri menjadi anak yang baik untuk orangtua yang tersisa. Dan kini semua terlambat. Rei terlalu naif sehingga tak pernah sadar bahwa waktu akhirnya membawa dirinya pada takdir yang dibencinya.

"Rei!" tante Mira berdiri di depan ruang itu. Ia menyeru Rei, sedangkan gadis itu terlihat tidak ingin menghentikan larinya yang terus melambat tanpa kendalinya. Tapi tante Mira berhasil menangkap gadis yang tengah histeris. Kemudian memeluknya sangat erat dengan tangis bertebar di mana-mana.

"Tante sama mama gak usah bercanda yang aneh-aneh sama Rei," Rei terisak sambil memaksakan senyumnya."Gak usah bercanda kayak gini, Rei beneran takut," ungkap Rei.

Tante Mira tak menjawab. Hanya tetap terisak. Kemudian perlahan menggeleng.

"Aku gak suka diboongin. Aku gak suka kalau bercandanya berlebihan. Tante... plis ya jangan bercanda. Aku serius tan..." Rei memohon.

Tante Mira tetap terisak sambil menggeleng.

"Tan, enggak mungkin mama pergi secepet ini. Mama kemarin baru aja sehat, mama kemarin baru aja ngomong banyak hal sama aku," Rei memaksa.

"Dulu, tante bilang mama bakal pulang kalau udah seminggu. Tapi ternyata mama belum pulang juga selama dua minggu. Dan hari ini, tante mau ngajakin jasad mama pulang tanpa arwahnya? Tante tega banget sih. Mama harusnya pulang dengan mobil pribadinya tan... bukan nantinya pulang dengan mobil ambulan..." Rei makin terisak.

"Tante minta maaf ya Rei, tante minta maaf..." tante Mira hanya bisa mengucap demikian dengan lirih, penuh penyesalan.

"Semuanya selalu aja ninggalin aku, kenapa sih aku harus ditinggalin sendirian di dunia ini? Kenapa aku enggak ikut mereka aja tan? Kenapa aku gak mati aja..." isak Rei sambil perlahan duduk dan meringkuk di lantai.

Tante Mira kembali memeluk Rei yang telah meringkuk.

"Allah sayang sama kamu Rei. Dia sayang banget sama kamu, makannya Dia selalu menguji kamu. Kamu harus tabah. Harus kuat..." ujar tante Mira.

"Jangan cuman meringkuk di sini sayang... kamu harus kuat untuk kembali melangkah. Kamu harus lihat wajah mama kamu yang sedang kelihatan bahagia. Sebab dia akan bertemu papamu dan Tuhannya,"

"Ayo berdiri Rei, kamu harus mengucapkan salam perpisahan terakhir untuk mama kamu," tante Mira membantu Rei kembali berdiri.

Perlahan tubuh Rei kembali tegak.

Rei akhirnya diam dan dengan paksa mengakui bahwa ini semua memang telah terjadi. Takdir yang benar-benar datang di dalam kehidupan Rei, ujian yang paling berat yang telah diberikan Allah padanya.

Air mata Rei makin deras. Tapi gadis itu akhirnya bergerak untuk melawan. Mengikuti ucapan tante Mira untuk bertemu mamanya. Ia berjalan ke balik pintu di ruang itu.

Tiap kali mendorong pintu ini, Rei selalu bahagia untuk bisa melihat wajah mamanya. Tapi, waktu kini mengubah perasaan Rei menjadi sebaliknya. Gadis itu merasa takut.

Sangat takut.

Rei berusaha melewati pintu itu dan berjalan lebih dekat.

"Ma..." gadis itu makin tak kuasa untuk berdiri ketika melihat seseorang terbaring kaku di balik selimut yang menutup seluruh tubuhnya. Rei menguatkan diri untuk mendekat. Kemudian meraih selimut di ujung atas dan membukanya sehingga nampak wajah siapa yang benar-benar berada di sana.

"Mama janji untuk enggak ngingkarin janji mama. Untuk yang terakhir kalinya, mama ingin hidup dan menebus kesalahan mama selama ini, maafkan mamamu yang sudah sangat salah ini,"

"Untuk itu mama akan berada di sini,"

"Mama akan terus bersama kamu sayang,"

"Mama akan kembali menjadi mama yang selalu ada untukmu,"

"Mama akan berjanji, berjanji untuk selalu mendukungmu, sayang..."

Suara itu mengulang di telinga Rei. Kata-kata yang sempat diucapkan mamanya untuk membuat perdamaian dengan anaknya.

Janji yang sempat diucapkan mamanya.

"Gadis kecilnya mama harus selalu kuat ya. Gak boleh nangisan. Harus bisa mandiri. Nanti kalau Rei nangis, mama juga ikut sedih. Rei gak mau kan mama sedih? Jadi Rei jangan pernah nangis ya. Mama sayang banget sama Rei..."

Rei juga mendengar bisikan yang sempat terucap saat ia masih kecil. Saat semua masih utuh.

"Mama janji, mama akan selalu ada dan ngelindungi Rei... mama janji..."

Dan janji-janji yang tidak akan terpenuhi.

Permintaan yang tak akan pernah terkabul.

Ucapan yang tak lagi berarti apapun.

Pedih.

Sakit.

Rei benar-benar tak sanggup lagi.

"In...nn..in...inna...lillahi...wa...inna...ilaihi... ro...jiun..." Rei gagap mengucap kalimat istirja' itu.

Kalimat perpisahan terbaik untuk wanita yang telah melahirkannya.

"Mama..."

Kemudian ia memanggil mamanya pelan.

Sebelum akhirnya pandangannya menjadi buram dan akhirnya menjadi gelap.

Tiga Belas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang