BAB 9

2.1K 147 6
                                    


"Tuhan menguji kita melalui cinta. Apakah kau memilih-Nya atau memilih mahluk durhaka yang diciptakan-Nya. "

Awal hanyalah pengenalan dari sebuah perkara. Pertemuan dan perkenalan membimbing kita untuk menentukan masalah yang kita buat. Lari dari kenyataan, menghilang bersama sang waktu, pergi dengan menyesakkan.

Itu tidak akan pernah menjadi sebuah akhir. Karena, untuk apa punya awal yang indah, hanya dicampuri sebuah masalah, akhirku hanya penderitaan.

Berharap lebih. Aku ingin lebih bahagia, daripada aku yang dulu.

@

Rei masih termenung di depan lukisan itu.

Masih terbayang-bayang dengan perasaannya.

Rasanya, baru sedetik ia bahagia, sedetik lagi ia menangis.

Hidup punya warna sendiri untuk membuatnya terlihat lebih indah.

Tapi, Rei masih tetap tak punya solusi. Ia hanya bisa menatap kosong lukisan di depannya. Berpikir untuk sedih. Mengingat semua penderitannya.

Kembali berpikir Tuhan terlalu jahat padanya.

Membuat pancingan untuk tertawa, kemudian menariknya untuk menangis. Rei benci, mengingat hidupnya hanya diisi dengan tangisan. Kesedihan. Keterpurukan.

Sejak pindah.

Ya, sejak pindah itu, Rei tak pernah bahagia seutuhnya.

Setelah melamun dan berpikir kosong sekian lama di tempat yang sama, akhirnya Rei memutuskan untuk pergi. Ia berjalan meninggalkan lukisan di ruang gedung ini. Rei pergi. Gadis itu benar-benar pergi setelah melajukan mobilnya keluar dari sana.

Rei kembali ke rumah. Pulang dengan wajah lesu dan matanya yang masih sembab. Kembali ke dunia yang selalu kosong.

Rei membuka pintunya perlahan.

Gadis itu diam sejenak di tengah pintu. Mencium bau makanan kesukaannya.

Aroma itu sudah lama sekali tak pernah tercium oleh hidungnya. Terakhir kali, di hari perpisahan dengan mamanya.

Khas aroma makanan ini hanya milik mamanya.

Rei segera berlari ke dapur, memastikan dengan matanya sendiri. Melihat langsung siapa gerangan orang yang membuat aroma ini.

"Ma..."

Rei hampir keceplosan mengucap kata yang tak pernah diucapkannya lagi itu. Gadis itu segera menutup mulutnya sendiri.

Sementara mama Rei segera menoleh begitu melihat anak semata wayangnya datang ke dapur.

Rei tergugu.

Tak tau harus berkata apa di hatinya yang masih sakit ini.

"Makanannya udah siap, sayang," ungkap mamanya.

"Yuk, temenin mama makan," ajaknya dengan lembut.

Tanpa harus berdebat lagi, entah mengapa Rei mengikuti permintaan mamanya yang tulus itu. Gadis itu mengikuti mamanya ke ruang makan.

Sungguh, sejak papanya meninggal, Rei tak pernah sekalipun makan di sini.

"Rei, mata kamu kok sembab gitu? Kamu habis nangis, sayang?" tanya mamanya.

Tiga Belas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang