BAB 16

1.5K 85 0
                                    

"Aku tau caranya mendapatkan, tapi tak paham cara tuk mempertahankan"

Lorong-lorong kelas masih terasa sepi tanpa materi. Mentari masih redup, menyiratkan secuil cahayanya yang membuka dunia dari gelap menjadi agak terang. Masih terasa sejuknya udara tanpa polusi. Jika melirik jam, masih jam enam pagi, satu jam sebelum bel masuk berbunyi kembali.

Bety melangkah gontai menuju kelasnya. Gadis itu tak menemukan seorang pun di sekolah. Mungkin bisa dikategorikan dirinya orang pertama yang menyusuri sekolah sepagi ini setelah pak satpam.

Larut dalam kesunyian, perasaan inilah yang sedang dibutuhkannya.

Setelah benar-benar masuk ke kelasnya, gadis itu duduk perlahan di bangkunya. Menatap ke jendela sebelahnya yang menampakkan langsung pemandangan ke lapangan basket.

Bayangan lapangan basket yang tadinya terlihat benar-benar nyata, berubah menjadi suatu bayangan yang telah terjadi.

Kejadian semalam yang memberatkan untuk dipikirkannya.

Entah apa yang dirasakan hatinya, Bety masih enggan untuk menerima apa yang akan terjadi akibat ulahnya sendiri.

Seolah menyesal telah membantu Rei dekat dengan Dafa kembali, gadis itu benar-benar marah. Marah pada dirinya sendiri.

Semunafik itukah hatinya?

Bety bahkan masih tetap mencintai Dafa seperti sebelum-sebelumnya.

"Bet,"

Seolah suara itu muncul kembali. Seruan Riki semalam yang mengantarkannya pada hati terdalamnya kembali. Bety masih tersakiti akan itu.

"Seandainya Rei sama Dafa berhasil ngelewatin masalah mereka dan pacaran, kira-kira lo bakal tetep terima kan?" Riki menguak rasa penasarannya.

Bety masih dalam kondisi terkejut. Bingung merasakan perasaannya. Gadis itu tak bisa memberikan jawaban pasti.

"Lo... masih suka sama Dafa?" tanya Riki kembali. Melihat Bety tak sanggup menjawab pertanyaan sebelumnya.

Bety tetap membisukan mulutnya. Masih terus bertanya pada hatinya.

Hanya matanya yang bisa menampilkan semuanya. Kesenduan itu. Tersirat lebih nyata.

"Ki, lo masih suka sama gue?" Bety balik bertanya. Tapi Riki tak menunjukkan wajah terkejut. Hanya wajahnya yang berubah lebih pasrah.

"Gue bakal jadi kayak Dafa. Dafa memperjuangkan cintanya yang beda agama, sementara gue akan memperjuangkan cinta gue yang beda rasa. Kita sama-sama punya hal yang berbeda, tapi seperti film yang kita tonton tadi, sekalipun beda tetep bakal bisa bersatu untuk saling melengkapi," ungkap Riki yakin.

"Gue harap, gue bisa suka sama lo Ki," ujar Bety.

"Gue berharap gitu juga, tapi tolong Bet, jangan paksain perasaan lo," saran Riki.

Bety mengangguk pelan.

"Kalau gue paksain perasaan gue untuk menerima hubungan yang baru, apa itu emang enggak boleh?" tanya gadis itu lagi.

"Hati kita itu seperti sebuah kotak kosong. Apa yang ada di dalam kotak itu adalah yang hal yang kita mau kenang. Hal yang kita ingin simpan dan rahasiakan. Sementara di atasnya adalah beban yang kita buang. Perasaan yang kita paksa. Coba lo bayangin, kotak itu ditumpukin sama benda-benda di atasnya. Bukannya kotak itu makin kuat, tapi makin rapuh, makin cepet untuk hancur. Dan benda yang udah kita simpen di dalamnya, bakal ikutan hancur ditumpukin yang di atasnya," ungkap Pria itu bertambah bijak.

Tiga Belas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang