BAB 17

1.4K 115 4
                                    

Hai readers... 

Sapa canteek dulu yaa hehee.. 

Sebelum membaca alangkah baiknya divote lebih dulu yaa..

Mau tetep dilanjutin apa enggak ini novelnyaa:( kalau semakin sedikit vote and readers.. jadi gak semangat nulis novelnya:(

Jangan lupa vote and comment yaa readers yang budiman :)

Selamat membacaaa :)))

****

***

**

*

"Gravitasi tidak berpengaruh kepada mereka yang jatuh cinta... -Albert Einstein"

Sebuah hubungan tak bisa untuk selalu berjalan lancar. Ada kalanya hambatan muncul. Seharusnya itu bukan untuk menghancurkan, tapi menguatkan. Karena manusia tak akan pernah tau seberapa tegar sebuah hubungan tanpa diwarnai rintangan.

Jika begitu keadaannya, Rei masih tak tau harus bagaimana.

Gadis itu bahkan belum beranjak keluar kelas dan masih tetap duduk dengan wajah lemas, kurang lebih setengah jam berlalu.

Rei bukan sahabat yang tidak mau tau; pura-pura bodoh; menyepelekan;

Tak dapat dipungkirinya, gadis itu masih ingat ketika diam-diam menyelinap, mengikuti gerak Bety yang menuju ke toilet.

Tak lama setelahnya, suara tangis yang memecah keheningan itu muncul.

Rei menunggu seperkian detik. Menyadarkan dirinya bahwa suara itu bukan dari Bety. Bukan dari sahabatnya yang menangis kecewa karena dirinya.

Bety tak ingin melukai sahabatnya.

Rei juga begitu, meskipun Dafa hampir menjadi penyempurna hidupnya yang selama ini suram. Gadis itu sejujur-jujurnya tak ingin bahagia atas penderitaan orang lain.

"Rei,"

Seruan Riki mengagetkan gadis yang masih menundukkan wajahnya yang tak luput dari air mata.

Sementara Riki melangkah makin mendekat, Rei berusaha menghilangkan jejak tangisnya. Tapi nihil, mata Rei terlanjur sembab, hidungnya masih memerah, dan wajahnya belum bisa bereaksi dengan baik untuk menyembunyikan kesedihannya.

"Lo ngapain kok masih di sini?" tanya Riki yang lebih mendekat.

Rei tak menjawab.

Gadis itu yakin suaranya pasti makin mengetarakan bahwasanya Rei memang telah menangis. Jadi Rei memilih diam. Sampai teman prianya itu berjarak selangkah darinya. Riki menelaah wajah Rei yang mendadak berubah kusut.

"Lo nangis?" Riki lagi-lagi bertanya. Rei bahkan belum menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Rei," Riki kembali menyeru sambil memegang pundak Rei.

Gadis itu tak bereaksi.

"Kenapa?" Riki terus melontarkan pertanyaan.

Rei menarik napasnya panjang.

Riki berhenti bertanya dan menunggu gadis itu sampai mengeluarkan kata-kata.

Tes

Air mata Rei kembali terjun ke pipinya.

Tiga Belas [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang