"Lihat! Aku mendapatkannya kemarin!" Amarta melebarkan selembar brosur yang sebelumnya terlipat dan terselip di saku rok. Yosi mengerjap, sedangkan Viola mengerutkan kening mengamati tulisan yang tertera.
Mereka bertiga berada di dalam ruang kelas IPS tiga. Yosi mengangkat alis saat sepasang kembar itu—untuk yang kesekian kalinya—masuk tanpa sungkan padahal banyak teman-teman kelas yang lain masih ada di sana. Seluruh kelas langsung kasak kusuk, menyadari kehadiran murid baru yang belakangan jadi populer—ditambah wajah keduanya yang sama persis. Para cowok khususnya, selalu senang memperhatikan keduanya.
"Jadi gimana kalau minggu depan kita ke sini? Tempatnya di atas bukit, jadi sejuk sekali dan bisa me-refresh pikiran. Minggu depan kan ada tanggal merah dua hari, terus lanjut ke Sabtu Minggu, jadi kita bisa di sana empat hari. Gimana? Gimana?" Amarta menatap Yosi dan Viola bergantian, penuh harap.
"Ada pemandian air panas di sana?" tanya Viola tanpa melepaskan perhatiannya dari tempura yang tengah dia tusuk-tusuk menggunakan garpu. Dia membaca sekilas alamat tempat yang dimaksud Amarta.
"Ini masih baru! Masih promo!"
"Darimana kau dapatkan itu?"
"Sam," jawab Amarta polos. Tubuhnya sedikit condong ke depan, lalu berbisik dengan memasang wajah licik. "Aku bisa dapat tiket gratisnya kalau membuatkan dia serantang penuh rawon. Dia tergila-gila pada rawonku."
Viola tertawa geli. Yosi pun tidak bisa menahan senyumnya.
Bocah yang menarik, komentar Yosi dalam hati sambil menyendok suap demi suap nasi bento buatan Amarta. Sekarang setelah melihat keduanya seksama dari jarak sedekat ini, Yosi merasakan aura yang berbeda dari masing-masing mereka. Hanya pemikirannya sekilas, namun baik Viola dan Amarta punya kesan pembawaan diri yang amat baik—tidak seperti teman-teman sekelas Yosi yang urakan. Kemudian dari tampilan mereka berdua: seragam baru yang amat bersih, sepatu, dan hiasan rambut yang tersemat—semuanya amat sesuai menunjukkan diri keduanya.
Mereka berasal dari keluarga kaya, Yosi tidak perlu berpikir keras untuk sekedar tahu. Pertanyaannya: kenapa? Selalu hanya ada satu kata tanya itu yang terlintas dalam benaknya saat mengingat keduanya. Kenapa anak seperti mereka mau pindah ke sekolah swasta biasa macam Madana? Hanya karena dirinya? Yosi meragukan itu. Mereka terkesan sangat terbuka pada Yosi, namun entah kenapa seperti selalu ada yang ganjal. Tapi untuk sekarang ini, selama hal itu tidak mengganggunya, Yosi tidak akan memusingkannya.
Dua orang itu melanjutkan obrolan mereka seolah tanpa jeda. Yang paling bersemangat dengan topik kali ini adalah Amarta, sementara Viola menanggapi sekenanya karena dia sendiri sibuk menata makan siangnya sebelum masuk ke mulut.
"Kamu mau ikut, Yosi?" tanya Amarta memandangnya.
"Maaf, kayaknya nggak.. aku lebih suka di rumah," tolak Yosi halus.
"Yah... padahal sepertinya akan lebih seru kalau kamu ikut."
Amarta berhenti bicara lalu mulai menghabiskan makan siangnya dengan khidmat. Viola melakukan hal yang sama. Begitupun Yosi. Omong-omong Viola selalu bilang kalau setiap pagi Amartalah yang selalu menyiapkan bekal untuk mereka bertiga. Tidak pernah tidak sempat selama hampir seminggu ini. Tatanan bekalnya membentuk bermacam-macam tokoh animasi yang lucu. Pekerjaan tangannya selalu rapi. Soal rasa, Yosi juga harus mengakui bekal paginya selalu lezat. Seperti buatan seorang koki. Tapi apa betul benar-benar Amarta yang membuatnya? Mungkin mereka kompak berbohong.
"Ng... sori, ganggu."
Mereka bertiga kompak menoleh pada seorang cewek yang mendatangi meja mereka.
"Sori, Kak Yosi.. aku cuma disuruh nanyain kapan Kak Yosi mau mulai ngasih latihan karate lagi.."
Alis Yosi terangkat. Dirinya ikut ekstrakulikuler karate? Sejak kapan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Fallen Angel
ActionStatus: COMPLETED Setelah sadar dari koma dan mendapati diri lupa nyaris segalanya, Yosi dihadapkan dengan Rian--cowok yang paling ditakuti seantero sekolah dan pentolan geng pembuat onar di kotanya. Cowok itu memperlakukannya seperti boneka, di sat...